TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakil menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak mengatakan proses pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol trans Jawa akan dipercepat dan dilakukan serentak untuk mencapai target penyelesaian pembangunan dalam lima tahun. "Kami upayakan sekarang serentak di semua seksi karena kami ingin tuntaskan dalam lima tahun ini," katanya di Jakarta, Kamis (10/12).
Dari total lahan seluas 4500 hektar, ia melanjutkan, baru 26 persen saja yang sudah dibebaskan. Proses pembebasan lahan yang tidak serentak membuat rencana pembangunan berjalan lambat.
Operator, kata Hermanto, selamaini membebaskan lahan tidak bersamaan tetapi dipilih mana yang layak dibebaskan duluan. Misalnya jalur Semarang-Solo yang dibebaskan Ungaran terlebih dahulu. "Ketika Ungaran-Bawen sudah, tetapi yang dari Bawen-Solo belum diutik-utik," ujarnya.
Salah satu cara yang telah ditempuh pemerintah dengan membuat undang-undang khusus yang ditargetkan selesai di penghujung 2010 nanti. "Kalau undang-undangnya bisa selesai dalam satu tahun, pengadaan tanahnya juga diharapkan lebih cepat selesai," kata Hermanto.
Jika proses pembuatan undang-undang ini berjalan lancar, diharapkan paling lambat pada 2011 semua tanah untuk jalur tol trans Jawa telah dibebaskan. Beberapa alternatif model pembebasan lahan ditawarkan oleh beberapa pihak.
Dosen dari Universitas Airlangga Surabaya Urip Santoso mengatakan hak atas tanah juga terikat dengan fungsi sosial. Sehingga jika kepentingan umum menghendaki pemilik harus melepaskan haknya. Namun ia menawarkan penggantian yang layak dengan perhitungan di atas nilai jual obyek pajak (NGOP) untuk warga yang tanahnya diambil.
"Sebenarnya istilah ganti rugi itu tidak tepat. Lebih tepat kalau disebut penggantian yang layak," ujarnya. Tidak hanya memperhatikan NJOP, ia melanjutkan, besaran ganti rugi juga harus memperhitungkan nilai sebenarnya dari tanah, nilai bangunan dan nilai jual tanaman.
Konsultan pembangunan infrastruktur Raj Kanan mengatakan ada beberapa model yang bisa dijadikan contoh di negara lain. Misalnya di Malaysia dan Korea Selatan pemerintah berhak mengambil alih tanah untuk infrastruktur. Di Korea kompensasi diberikan berdasar nilai pasar.
Sementara di Malaysia pemilik tanah bisa mengajukan harga yang lebih tinggi untuk tanah mereka melalui pengadilan. "Akuisisi tanah menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi dibiayai oleh pemerintah sendiri atau bersama swasta kecuali di India yang oleh pemerintah saja," terangnya.
KARTIKA CANDRA