TEMPO Interaktif, Jakarta - Sandra, 33 tahun, tak habis pikir mendapati anak bungsunya, Raihan, menangis karena ditampar seorang anak sebaya yang baru dikenalnya. "Kok bisa, ya, anak itu berlaku kasar," Sandra, Kamis lalu.
Kejadiannya sudah berlalu delapan tahun. Kala itu, Sandra sekeluarga menghadiri pesta pernikahan sahabatnya di Jakarta Selatan. Di tengah pesta, Raihan, waktu itu berusia 4 tahun, tergoda melihat mainan yang dipegang anak berusia 6 tahun. "Nyuwun, nyuwun (minta, minta)," kata Raihan.
Permintaan Raihan justru berbalas perbuatan kasar anak itu. "Kenapa sampai ditampar? Padahal Raihan berlaku sesuai dengan ajaran," ujar Sandra. Selama ini Sandra memang mengajarkan anaknya bersikap sopan dan santun serta rendah hati kepada siapa pun. Tata krama Jawa dia terapkan benar. Maklum, suaminya masih berdarah keraton Surakarta.
Pengalaman di pesta pernikahan itu menyadarkan Sandra bahwa dia tidak boleh hanya mengenalkan hal-hal yang baik-baik kepada anaknya. Sejak itu, dia mulai mengajarkan anaknya untuk berani melawan ketika mendapat perlakuan kasar.
Sandra mulai mengajarkan teknik pertahanan diri. Tidak segan-segan, dia menyuruh Raihan memukuli tubuhnya. "Ayo pukul Mama, pukul Mama, Nak," Sandra bercerita.
Memperkenalkan teknik bela diri kepada anak, menurut pemerhati anak dari Ashanda Consulting, Ashinfina Handayani, memang tidak salah. Tapi dia menekankan hal itu harus dalam batasan usia tertentu.
Pasalnya, kalau diajarkan terlalu dini, dikhawatirkan anak belum bisa menyerap dengan baik. Selain itu, kemampuan motorik kasar--berupa otot-otot dan sendi-sendi--anak pun masih terlalu muda.
Menurut Ashinfina, yang biasa dipanggil Sinta, dalam diri setiap individu, ada yang namanya mekanisme pertahanan diri. Tapi seberapa besar keefektifan pertahanan diri ini sebaiknya dikomunikasikan dengan anak. "Tentunya disesuaikan dengan perkembangannya," kata Sinta, Kamis lalu.
Komunikasi bisa dilakukan secara verbal kepada anak yang sudah berusia 1,5 tahun. Pada usia ini biasanya anak sudah mulai berinteraksi secara sosial dengan individu di sekitarnya. Anak sudah mulai banyak mengenal orang lain di luar keluarga inti dan mulai bermain dengan anak seusianya.
Apa yang Sandra ajarkan kepada anak agar, kalau meminta, memakai kata "nyuwun" menurut Sinta sudah benar. Tapi anak perlu juga diperkenalkan dengan cara lain. Misalnya dengan menyebutkan kata "tolong" atau "permisi".
Memang terkadang muncul benturan ketika anak bertemu dengan individu lain yang tidak berlaku seperti dirinya. Hal ini dapat diantisipasi sejak awal. Caranya, anak diperkenalkan sikap asertif dalam berperilaku dengan orang lain. Seperti sikap menghormati milik orang lain. "Bukan berarti mengalah lo, ya," kata Sinta.
Dalam kasus Sandra dengan Raihan, Sinta menyarankan sebaiknya anak diajarkan tidak terpaku pada mainan. Dorong anak untuk melakukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan atau bermanfaat.
Jika sudah telanjur--terjadi kekerasan terhadap anak--orang tua harus menjelaskan bahwa mungkin saja temannya itu sedang tidak mau diganggu atau sedang ingin main sendiri dengan mainannya. Atau bisa juga mengalihkan anak dengan mainan lain yang mungkin saja bisa lebih menarik.
Mengajarkan dan mendidik anak sebaiknya memang dengan cara memberi contoh dan teladan yang baik. Tapi ada kalanya orang tua menjelaskan beberapa contoh perilaku yang tidak baik. Sehingga, anak pun dapat melihat bahwa terdapat hal tidak baik atau tidak menyenangkan. "Life is not easy," Sinta mengutip Bapak Psikologi Austria Sigmund Freud.
ERWIN DARIYANTO