TEMPO Interaktif, Depok - Windy bukan Totto-Chan. Dia bukan gadis kecil yang dikeluarkan dari sekolah sewaktu umurnya baru 6 tahun lalu besar menjadi presenter terkenal di Jepang tersebut. Tapi Windy sekeras dan semandiri gadis Jepang yang kondang itu.
Hidup Windy keras. Umurnya baru 8 tahun. Namun, ia harus bekerja untuk tiga adik kecilnya. Tak seperti Totto-Chan atau juga anak sebayanya, tak ada waktu bagi Windy untuk melamun. Ia juga harus berhenti sekolah. Sudah sepekan gadis kecil itu hidup bersama tiga adiknya, Rizky, 4 tahun; Lina, 3 tahun; dan Siti, 5 bulan.
Apakah ia menyesal? Apakah hatinya hancur? Tak ada yang tahu pasti. Menurut Sadianto, di RT 3 RW 1 Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Depok, Jumat lalu, Windy dan adiknya ditinggal kabur kedua orang tua mereka, Wasinem dan Dadan. Windy dan adik-adiknya tinggal di kontrakan sendiri sejak 19 Desember lalu.
Windy tak tahu ke mana ayah dan ibunya pergi. Yang ia tahu, ayahnya adalah sopir angkutan kota di Terminal Kampung Rambutan. Ibunya dulu penjual rokok di terminal itu, lalu mencari pekerjaan ke luar negeri. Setiap siang atau sore, Windy menanti ayah-ibunya pulang. Tapi yang datang hanyalah angin.
Kedua orang tua itu kabur setelah ketakutan dikejar penagih utang dari sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Karena Wasinem bersedia menjadi TKI, perusahaan itu memberikan uang panjar kepada Dadan sebesar Rp 4 juta. Rupanya Wasinem hanya sebentar di penampungan, lalu kabur.
Warga baru menyadari bahwa orang tua Windy kabur saat perwakilan dari PJTKI itu mendatangi rumah Edi Sumarno, pemilik kontrakan, untuk menanyakan keberadaan penghuni rumah kontrakannya. Windy mengaku tak tahu ke mana ibunya pergi, begitu pula keberadaan sang ayah.
Selama Windy dan adik-adiknya ditelantarkan orang tua mereka, para tetangga menanggung hidup keempat bocah itu. "Kami bergantian memberikan makanan," kata Endang, salah seorang tetangga Windy.
Sejak kabar penelantaran itu, banyak orang berdatangan dan menyatakan ingin mengadopsi Siti. Tapi ditolak Windy. "Kalau satu enggak boleh, bolehnya empat-empatnya," kata Windy dengan suara mungilnya. Jawaban lebih menyedihkan terdengar saat wartawan menanyakan kenapa Windy tidak sekolah. "Sama Mamah enggak disekolahin karena disuruh jagain adik," katanya.
Di tempat persembunyiannya, Wasinem masih mendengar kabar anaknya. Sabtu tengah malam lalu, ia datang ke Panti Asuhan Fathul Khoir, Cimanggis, Depok, tempat empat anaknya dititipkan sementara waktu sejak Jumat malam lalu. Setelah menengok anaknya, Wasinem diperiksa di kantor Kepolisian Resor Depok malam itu juga.
Wasinem mengaku hidup di jalanan selama kabur. Ia tak tahu keberadaan suaminya. Terkadang ia tidur di musala sambil sesekali mengintai dari jauh kondisi anak-anaknya di rumah kontrakan berukuran 3 x 8 meter persegi itu. Wasinem tak berani pulang. "Saya takut kalau muncul dikejar-kejar," ujarnya.
Wasinem berencana membawa keempat anaknya pulang kampung ke daerah Ciamis, Jawa Barat. Di sana ada orang tuanya sehingga ia bisa mengurus anaknya dengan lebih baik. "Saya mungkin mau bertani atau kerja apalah," ujarnya.
Ketua Yayasan Fathul Khoir, Bariroh, berharap Wasinem mengurungkan niatnya itu. "Lebih baik mereka di sini. Ibunya bisa kami pekerjakan dan pendidikan anaknya lebih terarah," ujarnya. Ia tak ingin Wasinem menelantarkan anaknya lagi. Bariroh mungkin ingin Windy sekuat Totto-Chan.
TIA HAPSARI | ISTIQOMATUL HAYATI