TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Dewan Transparency International Indonesia, Todung Mulya Lubis mengatakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar tidak boleh kompromi dalam menindak pejabat yang bertanggung jawab atas terkuaknya fasilitas bintang lima di Rumah Tahanan Pondok Bambu yang diterima Artalyta Aryani, terpidana kasus suap BLBI.
"Tidak perlu ada kompromi kepala Lapas, juga dirjen Pemasyarakatan," kata Todung di sela-sela Peluncuran Buku Pengalaman Pembangunan Indonesia Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro di Hotel Dharmawangsa, Kamis (14/1). "Memang tanggung jawab ke Lapas secara tidak langsung, tapi dia harus bertanggung jawab terhadap Lapas se Indonesia."
Dia mengingatkan, Menteri Hukum harus bersikap tegas. Karena, menurut dia, kasus serupa sudah berlangsung cukup lama dan bukan saja terjadi pada Ayin. "Konsekuensi Dirjen, tidak ada alasan untuk tidak memberhentikan Dirjen pemasyarakatan," katanya. "Kalau ini hanya seminggu lalu Dirjennya bisa mengatakan dia bisa tak mundur, tapi ini terjadi sudah lama."
Sebelumnya, Patrialis menolak mencopot Untung sugiono dari Jabatan Direktur Jenderal Permasyarakatan. Menurut Patrialis, Untung belum terbukti bersalah dalam kasus perlakuan istimewa terhadap terpidana Artalyta. Sejauh ini, hanya Kepala Rumah Tahanan Pondok Bambu, Sarju Wibowo yang dinonaktifkan.
Todung juga menyesalkan Menteri Hukum ketidaktegasan sikapnya. "Ke mana saja sidak selama ini. Tapi kok kita tidak lihat ada temuan itu," ujarnya.
Menghindari adanya kemungkinan terjadi lagi kasus pemberian fasilitas bagi narapidana, Todung mengusulkan perlu adanya konsep baru lembaga pemasyarakatan yang dikelola swasta. Dia mengakui, kemungkinan dialihkannya Lembaga Pemasyarakatan ke swasta tidak akan didukung. "Tapi kalau pemerintah tidak ekonomis, swasta bisa kelola LP," ujarnya.
Ditanya soal usulan KPK agar adanya lembaga pemasyarakatan khusus koruptor, Todung sangat setuju dengan usul itu. "Perlu ada Nusa Kambangan baru untuk pelaku korupsi," katanya. Misalnya, disiapkan pulau sekitar Jakarta didesain untuk koruptor. "Itu pas dan adil," ujarnya.
EKO ARI WIBOWO