TEMPO Interaktif, Penyejuk udara dalam ruang pertunjukan gedung Usmar Ismail membuat kulit makin mengerut. Temperatur yang dipasang tinggi seolah belum cukup mewakili cuaca yang tak kalah dinginnya di luar sana. Selama seharian, Jakarta terus diselimuti mendung.
Cuaca yang misterius untuk ditebak mungkin menjadi salah satu kendala bagi pengunjung untuk datang tepat waktu. Masih sedikit jumlah bangku yang terisi, sedangkan lampu segera padam karena film Gadis Marathon siap diputar.
Kamis lalu menjadi hari menyibukkan bagi mantan kembang layar lebar Indonesia, Jenny Rachman. Hajatan pemutaran film-film zaman dulunya untuk menyambut ulang tahun yang ke-51 belum seramai dugaannya. Acara bertajuk "Lintas Generasi Movie Screening" ini berlangsung dua hari, 14 dan 15 Januari. Sebanyak enam film diputar, antara lain Gadis Marathon, Kugapai Cintamu, Kabut Sutra Ungu, Kartini, November 1828, dan Doea Tanda Mata.
"Saya buktikan kalau Pak Anton bisa melahirkan seorang juara." Dan kita pun menyaksikan bagaimana Jenny Rahman muda dalam film Gadis Marathon menjadi seorang perempuan Indonesia bernama Nita Bonita, yang berhasrat tinggi meraih medali emas pada Pekan Olah Raga Nasional cabang atletik. Nita digambarkan sebagai seorang atlet muda asal Lembang, Jawa Barat, yang penuh kerja keras dan pengorbanan.
Gelar juara pun tak hanya menghampiri Nita di film garapan Chaerul Umam pada 1981 tersebut. Berkat film itu, Jenny juga dinobatkan sebagai Pemeran Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia. Film itu juga mengantarkan Rachmat Hidayat, si Camat Natalegawa, sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik.
Malam itu Jenny seolah membaca ulang kariernya di dunia film Indonesia. "Apa yang saya raih selama ini bukan tanpa penghalang," ujarnya. Jenny mengatakan tak semua cita-citanya mendapat restu dari ayahanda. Menurut Jenny, ayahnya mula-mula melarang dia menjadi artis. Namun titah itu dilanggarnya, sehingga membuat sang ayah berang dan kecewa.
Film pertama Jenny adalah Ita Si Anak Pungut, keluar pada 1973. Berlanjut pada Kugapai Cintamu karya Wim Umboh pada 1977, Jenny terus eksis, setahun satu film. Kariernya kian memuncak pada 1977 dengan berhasil merilis tujuh film, mulai Akibat Pergaulan Bebas karya Matnoor Tindaon hingga Semau Gue garapan Arizal. Pada tahun berikutnya, enam film bisa dirampungkannya.
Puncak kejayaan karier wanita berdarah Aceh-Tionghoa-Madura itu ada pada karya Sjumandjaja dalam film Kabut Sutra Ungu pada 1979. Film ini berkisah tentang perjuangan janda Miranti, yang hidup tanpa suami. Kesulitan terbesar datang dari adik iparnya, Dimas, yang juga mencintainya. Dalam film ini, Jenny beradu peran dengan aktor kawakan Roy Marten.
"Di film ini untuk pertama kalinya saya meraih Piala Citra, setelah itu baru Gadis Marathon," ujarnya, mengenang. Kemenangan itu pulalah yang melunturkan dinding ego sang ayah pada anaknya. "Dan untuk pertama kali pula, saya diajak bicara kembali oleh ayah, setelah bertahun-tahun dikacangin," dia melanjutkan. Jenny telah membuktikan bahwa dedikasinya dalam memajukan perfilman Indonesia bukan sekadar tenar atau iseng. "Mungkin dulu ayah takut saya terjerumus pergaulan yang tidak-tidak," kata Ketua Persatuan Artis Film Indonesia periode 2006-2010 itu.
Hari ini, Jenny berulang tahun. "Saya telah merasakan menjadi wanita sukses, seorang istri dan ibu," ucapnya. Apalagi kini anak semata wayangnya, Ayu Sekarini, buah perkawinan dengan suami pertamanya, Budi Prakoso, datang, setelah berpisah selama 14 tahun.
Semenjak Jenny bercerai dengan Budi, Ayu diasuh oleh ayahnya, yang bermukim di Washington DC, Amerika Serikat. "Dulu saya masih kecil, belum tahu mama bagaimana, sekarang saya sudah besar dan mengerti siapa ibu saya sebenarnya," kata Ayu, yang selalu berada di samping Jenny. Ayu pun datang sebagai kado istimewa untuk ibundanya. Bagi Jenny, semua berkah yang diterimanya hingga hari ini adalah sebuah karunia Tuhan. "Hidup ini bagai sebuah pencapaian kematangan," katanya.
Aguslia Hidayah