Untuk itu, pemerintah Australia yang kini menempatkan 1500 pasukannya di Afganistan berusaha keras melindungi bekas tentara itu dari hukuman mati. Tak luput, sikap tersebut menimbulkan tensi hubungan kedua negara meninggi.
Surat kabar The Australian melaporkan, tentara bayaran tersebut adalah Robert William Langdon. Pria 38 tahun itu membunuh rekannya warga negara Afganistan bernama Karim, keduanya terlibat percekokan mulut ketika mengawal konvoi kendaraan di sebelah selatan Kabul.
Saat itu keduanya mengawal konvoi logistik, Langdong bertugas memimpin pasukan internasioanl sementara Karim memimpin tim dari Afganistan, papar koran. Konvoi ini kemudian diserang oleh Taliban di Provindi Wardak, sebelah selatan Kabul namun para penyerang melarikan diri ke arah ibu kota provinsi. Selanjutnya kedua pria ini berdebat soal larinya para penyerang.
Atas dakwaaan yang disampaikan majelis hakim di Kabul, Langdong mengajukan keberatan. Menurutnya, ketika menembak Karim dia hanya membela diri karena saat itu pria Afganistan tersebut mencabut pistol. Keterangan Langdong diperkuat oleh para saksi mata.
Selain menembak dengan senjata, jelas mejelis hakim, Langdong juga melemparkan granat tangan ke dalam truk yang membawa mayat Karim serta memerintahkan agar truk tersebut dibakar di lapangan terbuka, seolah-olah terjadi serangan oleh Taliban.
Australia tidak bisa menerima hukuman yang dijatuhkan hakim dan mencoba melakukan lobi agar hukuman mati diterapkan ke warga lain negara. "Pemerintah Australia meminta agar hukuman mati dibatalkan." kata menteri pertahanan John Faulkner, Rabu.
Departemen luar negeri menolak memberikan penjelasan rinci. Sementara itu, pengacara Langdon keberatan atas vonis itu dan mengajukan banding.
AP | CHOIRUL