"Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. (Mahkamah) menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua Mahkamah Mahfud Md dalam sidang di Gedung Mahkamah, Selasa (9/2).
Pemohon perkara pertama, Andreas Hugo Pareira dkk, meminta beleid Pemilihan dibatalkan secara keseluruhan. Sedangkan pemohon kedua, Ahmad Husaini dkk, memohon Mahkamah mencabut Pasal 247 ayat (4) tentang batas waktu laporan pelanggaran Pemilihan dan 253 ayat (1) tentang laporan pelanggaran dari Badan Pengawas Pemilihan Umum serta Panitia Pengawas Pemilihan Umum daerah.
Andreas ialah calon legislator Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan daerah pemilihan Jawa Barat pada Pemilihan Umum 2009 yang tak sukses menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mahkamah Agung pada Juni 2009 menyatakan Andreas berhak melenggang ke Senayan, namun Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkan pasal dalam Undang-Undang Pemilu yang menjadi dasar hukum putusan tersebut. Akibatnya, Andreas gagal melaju ke parlemen.
Bersama dua calon legislator lainnya, Andreas lantas memohon Mahkamah membatalkan sekaligus Undang-Undang Pemilu itu karena Mahkamah telah mempretelinya dengan membatalkan sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut. Andreas menganggap keberadaan Undang-Undang Pemilu menimbulkan ketidakpastian hukum.
Mahfud menepis penilaian tersebut. Ia menyatakan putusan Mahkamah justru wujud tanggung jawab dan kewenangan Mahkamah untuk menjaga konstitusi sekaligus menjamin kepastian hukum yang adil. "Pasal dalam UU yang tidak dibatalkan jauh lebih banyak, tetapi pemohon tidak mendalilkan bahwa pasal tersebut merugikan hak konstitusionalnya," ucap dia.
Mahkamah berpendapat permohonan membatalkan beleid itu tak berdasar dan tidak beralasan hukum. "Pemohon tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional," kata Mahfud.
Ia merinci, pertama, tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian pemohon dan berlakunya undang-undang yang diuji. Kedua, tidak ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, kerugian yang didalilkan tak bakal terjadi lagi. Karena itu, pemohon tak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, dan Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan.
Sedangkan Ahmad Husaini dkk meminta pencabutan dua ayat karena ayat pertama dianggap memberi kesempatan terlalu sempit, yakni tiga hari, untuk melaporkan pelanggaran dalam Pemilihan. Sedangkan ayat kedua dinilai memberi hak bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum untuk menilai suatu laporan, hak yang sesungguhnya berada di luar kewenangan lembaga tersebut.
Mahkamah menepis permohonan itu. Hakim Konstitusi M Akil Mochtar mengatakan batas tiga hari tidak menyangkut konstitusionalitas norma karena pengaturan tenggat itu ialah kebijakan hukum yang terbuka dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Sementara Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum memang berwenang secara yuridis untuk menyampaikan laporan pelanggaran kepada Kepolisian.
"Laporan kepada kepolisian tidak dapat dimaknai Bawaslu/Panwaslu melebihi kewenangan kepolisian, karena merupakan kewenangan untuk meneruskan laporan kepada penyidik," tutur Akil.
Mahkamah menilai tak ada kerugian konstitusional Ahmad Husaini dkk yang bersifat spesifik, aktual, atau setidaknya potensial akan terjadi. Karena itu pemohon dianggap tak memiliki kedudukan hukum pula untuk mengajukan permohonan.
BUNGA MANGGIASIH