Ade menjelaskan kerugian antara lain berasal dari berhentinya proses produksi, tetap berjalannya abonemen listrik dan penangguhan bunga. ”Kalau banjir sehari saja, produksi berhenti sampai dua minggu," katanya. Menurut Ade pengusaha mesti memperbaiki dinamo-dinamo yang harus dilepas, dikeringkan dan dibersihkan, dan baru dipasang lagi.
Ade menjelaskan meski banjir abonemen listrik yang jalan terus dan bunga bank yang tidak bisa ditangguhkan. Karyawan juga tidak bisa dirumahkan,kata dia karena mereka yang membersihkan pabrik. "Jadi mereka tetap bekerja tapi tidak menghasilkan,” jelas Ade.
Banjir tersebut melanda tiga wilayah di kabupaten Bandung, yaitu Dayeuhkolot, Majalaya dan Rancaekek. Sedikitnya 22 pabrik tekstil skala menengah dengan sekitar 6.000 karyawan berhenti berproduksi.
Ade melanjutkan, karena banjir merupakan siklus tahunan, pengusaha sudah mengantisipasi dengan menanam pohon di dataran tinggi setempat. Tapi langkah ini tidak efektif, karena setahun kemudian pohonnya sudah hilang. Menurut dia ini karena penguasaan hutan masih di Perhutani dan bukan di pemerintah daerah. Sejak lima tahun lalu, sudah diusulkan agar pemerintah membuat parkir air atau embung-embung penampung air.
IQBAL MUHTAROM