Karena kesendirian yang terus-menerus bisa jadi kadang membosankan dan kebersamaan adalah hal yang acap memudahkan, banyak seniman yang tertarik membuat kelompok. Ada banyak alasan yang mempertemukan para seniman yang pada akhirnya membuat kelompok. Salah satunya, yang acap dicibir tapi cenderung masih banyak dipercaya sebagai alasan paling mengikat, adalah persamaan kelompok etnik atau asal daerah. Komunitas Seni Sakato (KSS) adalah contoh bagaimana ikatan etnis bisa menjadi bentuk kebersamaan yang produktif dalam mewujudkan gagasan-gagasan seniman, meskipun pada akhirnya tetap dieksekusi secara personal.
Selama 10 hari semenjak 17 Februari 2010, sebanyak 100 lebih anggota kelompok ini menggelar pameran bertajuk "Bakaba" di tiga lantai yang tersedia di Jogja National Museum. Tentu saja, di antara mereka terselip nama-nama besar dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia selama 10 tahun terakhir, seperti Handiwirman, Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani atau Yunizar, hingga generasi yang lebih muda dan cukup menjanjikan, seperti David Armi Putra, Zulfa Hendra, dan Tommy Wondra.
Bakaba adalah sebuah istilah yang sangat khas untuk kehidupan masyarakat Minang. Berasal dari kata "kaba" (kabar), yang berarti kisah. Tentu kita bisa ingat bagaimana masyarakat Minang dikenal dengan kefasihan mereka dalam menyampaikan cerita, dengan budaya lisan dan seni bertutur (berpantun, misalnya), yang begitu kuat. Bakaba adalah sebuah upaya lain menunjukkan kekuatan tradisi tersebut dalam ranah seni rupa. Tiga penulis, yakni Jim Supangkat, Soewarno Wisetretomo, dan Yasraf Amir Pilliang, mereka libatkan untuk memberi pengantar dalam katalog yang mencoba menjelaskan dan memberikan gambaran besar mengenai karya para seniman dan mencoba menandai posisi Sakato dalam peta seni rupa kontemporer di Indonesia.
Meski mengikatkan diri dengan kesamaan etnisitas, apa yang dikisahkan para perupa ini juga pendekatan artistik masing-masing, memang tidak serta-merta menggambarkan identitas Minang mereka. Dan rasanya, pada masa ketika identitas telah dipercaya sebagai hal yang terus berubah dan tumpang tindih, merujuk etnisitas sebagai basis tema berkarya, memang tidak lagi terlalu strategis, kecuali jika ada gagasan atau kritisisme baru yang ingin disampaikan berkaitan dengan "kampung halaman" tersebut. Karena itu, dalam pameran ini, kita mendapati betapa luas khazanah gagasan yang dijelajahi oleh para seniman Minangkabau tersebut, ada yang berbicara tentang kota, tentang situasi manusia modern, kritisisme atas bentuk dan sejarah seni rupa itu sendiri, hingga upaya menampilkan gagasan tentang hal yang remeh dan sehari-hari, yang tampaknya cenderung dominan dalam pameran ini. Karena itu, ada beberapa karya yang memajang "benda-benda remeh", seperti kaki, toilet, atau lilitan kabel listrik. Kita tentu masih ingat bahwa tradisi atas hal yang remeh, seperti kapas, kayu, atau batu, terutama mencuat ketika Handiwirman merajai pasar dengan karya semacam ini dan menetapkan semacam haluan baru dalam estetika seni rupa di Indonesia.
Abdi Setiawan, pematung yang dikenal akan figur manusia kayunya, memajang instalasi karyanya di lorong ruang lantai pertama. Karya berjudul The City itu terdiri atas sembilan manusia yang menghuni sebuah kota, bergulat dengan hidup, identitas dan persoalannya masing-masing, terkotak-kotak dalam personalitas yang acap menjerat. Menarik pula menyimak karya Jumaldi Alfi yang membuat lukisan dengan aksara sebagai subyeknya, dengan pendekatan putih di atas putih.
Dari kecenderungan abstrak, ada karya yang cukup menyentuh dari seorang anggota KSS yang sudah almarhum, Febri Antoni. Karya seniman yang meninggal karena bunuh diri pada 2005 itu berjudul Melintasi Ruang Abstrak, yang entah mengapa, ketika menyaksikannya, kita merasakan kesepian yang pekat dan tertahankan di sana. Kemudian ada pula nama Fairuzhazbi aka Boy.
Ada pula karya Nico Ricardi, yang memang dengan mudah menarik perhatian pengunjung karena ukurannya yang relatif besar. Barangkali karya inilah yang paling bisa ditautkan dengan kebiasaan orang Minang: merantau. Ia menciptakan bola dunia berukuran besar, lalu diberi selempang yang bertulisan "Berkeliling".
Secara umum, pameran ini lebih merupakan pameran yang memberi pernyataan atas keberadaan kelompok Sakato sebagai satu kekuatan yang cukup besar dalam medan seni rupa di Indonesia. Kategori besar itu, selain direpresentasikan melalui jumlah, bisa dilihat dari banyaknya nama-nama yang mempunyai tempat cukup penting belakangan ini. Sedangkan, berkaitan dengan pencapaian atau rujukan estetik, pameran ini masih menunjukkan gagasan yang itu-itu saja. Beberapa memang mencoba keluar dari dorongan pasar. Tapi tampaknya persoalan kurangnya referensi atas perkembangan-perkembangan baru serta terbatasnya kemampuan untuk memeras esensi dari sebuah persoalan dan menampilkannya dalam satu metafor yang cerdas masih harus diatasi bersama. Diharapkan dengan itu, KSS punya kontribusi yang lebih ketimbang menegaskan soal identitas dan, barangkali, menjadi ruang bersama yang mengusir rasa sepi.