TEMPO Interaktif, Jakarta -Ibu Tanti Sukmaningrat, 58 tahun, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah cucu keempatnya. Dibanding tiga cucunya yang lain, Ristian, yang baru berusia empat tahun, punya sikap dan perangai berbeda. Bila cucu-cucunya bertandang, ia biasa membagikan sesuatu kepada mereka. Tapi Ristian selalu meminta porsi terbesar atau terbanyak. Bila perlu, jatah sang adik atau dua sepupunya ia rebut. “Pokoknya serakah banget, deh,” kata Tanti, yang membuka toko di rumahnya di Perumnas Depok I.
Si Ristian kemudian akan terlihat bangga dengan perolehannya. “Aku banyak, dong, kamu sedikit,” begitu ucapnya. Tak cuma itu. Bila memiliki sesuatu, Ristian pantang untuk membaginya atau sekadar meminjamkannya kepada orang lain. Bahkan kepada adiknya sendiri. Bila sudah demikian, Tanti cuma bisa berseloroh, “Oalah ngger, kamu itu nurun siapa, to, kok pelit banget.”
Dian Rizlan, 27 tahun, punya keluhan serupa. Anak sulungnya, Ailsha, 3,5 tahun, selalu merasa paling berhak mendapatkan jatah lebih. Bila tak dipenuhi, dia pasti merajuk. Agar tak berebut dengan sang adik, Atikah, 1,5 tahun, Dian akhirnya kerap membelikan sesuatu serba dua. Tapi terkadang upaya ini tak menolong karena Ailsha diam-diam kerap merampasnya. “Meski sudah dibuatkan susu sendiri, Ailsha pernah menghabiskan susu adiknya,” kata Dian. Ia khawatir sikapnya itu terbawa ke sekolah, bahkan hingga kelak beranjak dewasa.
Berupaya membeli dua barang yang sama juga menjadi solusi Irena Agustiningtyas bagi kedua putrinya, Afa, 3 tahun, dan Dila, 2. Sebagai dokter, dia mafhum, tingkah putri sulungnya, Afa, yang selalu ingin memiliki lebih, itu karena sedang dalam tahap egosentris, yaitu tahap yang menginginkan barang yang disukai menjadi miliknya.
Tidak sekadar membagi rata, Irena mengajarkan kepada kedua gadis mungilnya bahwa memiliki sesuatu dalam jumlah banyak tidak selalu baik. Ia juga menasihati untuk saling menghormati milik orang lain. Sebab, jika tidak, si anak tak akan punya banyak teman bermain.
Butuh ketelatenan, tentu saja. Sayangnya, banyak orang tua kurang sabar dan gampang memberikan stigma yang tak patut kepada si anak sebagai “serakah” atau “pelit”. Atau ada juga yang mudah menyerah oleh rengekan si anak, dan mengabulkan segala yang diinginkan. “Orang tua cenderung mudah memanjakan,” ujar Irene.
Menurut Fitriani F. Syahrul dari lembaga konsultasi keluarga Lentera Insani Depok, diperlukan kesabaran jangka panjang menemani anak di fase ini. Orang tua boleh tegas untuk tidak memenuhi segala keinginan anak, tapi tetap tidak boleh kasar. “Lazimnya, fase ini berakhir saat anak berusia 4 tahun,” ujarnya.Namun, hal itu juga bergantung pada seberapa kuat orang tua membimbing anaknya. Jika orang tua tidak peduli atau kurang tepat dalam membimbing anaknya, fase ini bisa berlangsung lama.
SUDARAJAT | AKBAR TRI KURNIAWAN