Menurut Iwan, sertifikat WWF cukup diakui secara internasional, seperti perusahaan grosir Wal-Mart dari Amerika Serikat dan Carrefour dari Prancis. Sedangkan sertifikat yang berasal dari pemerintah Indonesia, Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), kurang diakui di luar negeri.
Di dunia terdapat beberapa sertifikat yang diakui secara internasional, seperti dari Eurogap dan American Aquaculture Council (AAC). Tiga faktor utama yang diperhatikan dalam sertifikat udang adalah keamanan pangan, keterangan asal ikan, dan kepentingan konservasi lingkungan hidup.
Seluruh sertifikat itu mengikuti tujuh prinsip pembudidayaan udang dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), yaitu kepatuhan hukum, pertimbangan lingkungan, pertimbangan komunitas sekitar, praktek tenaga kerja yang bertanggungjawab, dan pengelolaan kesehatan udang yang bertanggung jawab.
Prinsip lainnya adalah pengolaan asal induk hingga pemilihan dan pengelolaan stok, dan penggunaan sumber daya yang efisien dan bertanggung jawab dengan lingkungan. "Sertifikasi Eropa dan Amerika lebih komersial, jadi lebih mahal," ujar Iwan.
Direktur Perbenihan, Ketut Sugama menyatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan masih mempelajari tawaran standardisasi dari WWF ini. "Bukannya kami tidak mau menerima, tapi pemerintah mau mempelajari keuntungan dan kelemahan standar ini," kata Ketut.
Namun ada beberapa potensi masalah dengan kondisi pertambakan Indonesia. Terutama ketentuan bahwa tambak tidak boleh di lahan pasang surut. "Ketentuan ini sudah lama digunakan petambak tradisional Indonesia seperti di Aceh," ujar Iwan.
Menurut Iwan, kebutuhan sertifikat karena permintaan dari negara pembeli udang. Jenis sertifikat yang diambil pengusaha akan disesuaikan dengan permintaan dari negara pembeli. "Kriteria-kriteria di dalam standardisasi WWF sudah final. Tetapi saya berharap masih bisa ditawar untuk beberapa kriteria tertentu," katanya.
ARYANI KRISTANTI