“Kalau dibatasi, permodalan akan terbatas. karena kita akan sangat tergangtung dengan modal dalm negeri yang selama ini belum terbukti menopang peningkatan dan kapasitas dalam skala besar,” kata Gita sesaat setelah tiba di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Rabu (17/3).
Dia mengingatkan, hingga saat ini masih banyak daerah terpencil dan bahkan di beberapa titik kota besar pun masih mengalami gangguan atau tak mendapat pancaran sinyal telekomunikasi.
Nah, untuk mengatasi itu diperlukan pembangunan menara yang kebutuhan investasinya tak murah. Gita memperkirakan, satu menara telekonomunikasi membutuhkan dana Rp 1 miliar. Artinya, dengan target 150-200 ribu menara dalam lima hingga tujuh tahun mendatang, dibutuhkan dana sedikitnya Rp 150-200 triliun. “Kalau kita memang mau menutup sektor itu dari asing, realitanya adalah kita tidak bisa mendatangkan modal,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kata dia, jika memang sektor itu benar-benar tertutup bagi asing maka pemerintah perlu berpikir ulang soal targetnya selama ini. “Tidak usah terlalu ambisius untuk kepentingan target investasi. Kan di presiden sudah dipaparkan target investasi yang menurut saya cukup ambisius.”
Gita mengaku tetap akan menghormati pandangan Kementerian Komunikasi. Tapi, menurut dia, yang diinginkan BKPM hanya sektor itu bisa terbuka untuk investor asing. Soal berapa persen yang bisa diperbolehkan, dia tak mempermasalahkan. “Selama ada keterbukaan, mau 20, 30, 49, atau 51 persen, yang penting itu sinyal positif,” katanya.
Seperti diberitakan, masalah boleh atau tidaknya investor asing masuk ke sektor menara telekonomunikasi saat ini belum tuntas dibahas pemerintah dalam rencana revisi Daftar Negatif Investasi karena penolakan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
AGOENG WIJAYA | NALIA RIFIKA