Senin itu, 22 Februari 2010, memang berlangsung uji coba pembangkit listrik sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Keesokan harinya uji coba dilanjutkan. "Tegangan listrik yang didapat selama uji coba belum memenuhi target untuk dapat mengangkut daya sebesar 1 megawatt dari setiap unit gas engine ke jaringan PLN Bekasi," kata Bastian Bachtiar, Site Manager Gas Engine System di PT Navigat Organic Energy, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Perusahaan ini menginvestasikan dana Rp 700 miliar untuk proyek listrik sampah di Zona 1 dan Zona 2 TPA Bantar Gebang. Mereka memakai gas metan (CH4) sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Gas tersebut diperoleh dari hasil pembusukan sampah organik. Mereka melakukan kerja sama dengan PT Godang Tua Jaya, perusahaan yang dipercaya Pemerintah Provinsi Jakarta mengelola sampah warga ibu kota yang dibuang ke Bekasi.
Pada proposal, di setiap zona terdapat 20 sumur gas metan yang mampu menghasilkan listrik 1 MW. Total listrik yang akan diproduksi 26 MW, dengan masa pengelolaan secara bertahap hingga 2013. Ternyata rencana ini terlunta-lunta. Padahal dua unit mesin pembangkit listrik sudah bercokok di Bantar Gebang sejak tahun lalu.
Malah muncul problem lainnya, yakni ngocor-nya air lindi atau cairan sampah dari sumur gas metan. "Air lindi membuat upaya tim teknis mengumpulkan gas metan tidak efektif," kata Direktur Utama PT Godang Tua Jaya Roni Sitorus. Dia menyebut musim hujan sebagai biang keladi. Belum lagi gas metan yang bocor ke udara. Apa yang salah pada pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS) di Bantar Gebang?
Rexon Sitorus, Direktur Umum PT Godang Tua Jaya, memberikan jawaban. "Konstruksi lahan sampah Bantar Gebang tidak ideal," katanya. Menurut dia, air lindi membuat pihaknya kesulitan mendapatkan gas metan sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, perusahaan ini membuka lahan baru seluas 2,3 hektare khusus untuk menerima sampah organik atau sampah dari pasar-pasar di Jakarta. Pada lahan yang tidak jauh dari zona 1 dan 2 itu bakal ditempatkan dua mesin pembangkit listrik.
Pengakuan Rexon memang ada benarnya. Bukan apa-apa, sejak 1989 model pengelolaan sampah di Bantar Gebang adalah open dumping atau terbuka. PT Godang Tua Jaya--yang awalnya cuma perusahaan penyedia bahan urukan-- membebaskan lahan di Kecamatan Bantar Gebang. Mereka mendapat order dari Pemerintah Provinsi Jakarta untuk menampung sampah. Setiap hari, 6.000 ton sampah warga Jakarta dibuang ke lahan yang luasnya mencapai 110,3 hektare tersebut.
Dalam kurun waktu 21 tahun, total volume sampah sekitar 10 juta meter kubik dan membentuk lima bukit besar. Tumpukan sampah setinggi 25 meter itu hanya ditutupi tanah bagian atasnya. Pada bagian bawah tidak ada lapisan untuk menahan air lindi yang luber. Maklum, pada 1989 tidak terpikir bahwa sampah Bantar Gebang bakal dijadikan pembangkit listrik.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim pada Desember 2007 di Bali membuka pandangan pejabat di Tanah Air. Sejumlah gubernur dan wali kota menyetujui proyek pembangkit listrik dari sampah milik warganya. Selain Jakarta dan Bekasi, daerah lain memiliki perencanaan sama, seperti Bali, Pontianak, Bandung, Surabaya, dan Banten. Pada peluncuran proyek, mereka gembar-gembor bakal mendapatkan dana dari luar negeri melalui skema CDM (clean development mechanism) karena jadi bagian dari mitigasi perubahan iklim.
Tanpa kajian dan analisis dampak lingkungan yang matang, proyek-proyek tersebut langsung dikebut. Di Bantar Gebang, misalnya, sejak tahun lalu mesin pembangkit keluaran General Electric sudah dipasang. PT Godang Tua dan PT Navigat Organic Energy mencanangkan target produksi listrik seluruhnya 26 MW. Produksi dilakukan bertahap, hingga 2013. Total gas engine yang dibutuhkan sebanyak 19 unit dan satu unit mesin pirolisis.
Sebelum terkoneksi dengan jaringan PLN, kata Bastian, pihaknya menyetel tegangan engine hingga 20 ribu volt. Untuk mencapai kapasitas itu, pembangkit membutuhkan trafo berkapasitas 20 kilovolt serta panel besar yang bekerja memantau arus listrik dan melakukan proteksi secara otomatis jika terjadi gangguan pada engine atau jaringan PLN. Listrik dari gas engine akan disalurkan ke trafo 20 kilovolt milik Pemerintah Provinsi Jakarta di Pangkalan Lima Bantar Gebang, masuk ke panel pengontrol, lalu ke jaringan PLN.
Sayang, rencana tersebut kini tidak jalan. Ketika musim hujan tibu, air menyerap masuk ke perut gunungan sampah dan memenuhi sumur gas. Selain itu, gas metan bocor ke udara dan sulit dikumpulkan untuk diolah menjadi listrik. Hal ini terjadi karena sistem pengolahan sampah memakai sistem open dumping. "Seharusnya dari awal menggunakan sanitary landfill," kata Bastian.
Pada sistem ini konstruksi lahan sampah tertutup atas-bawah seperti kubah, sehingga tidak ada kebocoran. Pada bagian dasar sampah diberi alas yang disebut geomembran, semacam karpet tebal antibocor guna menampung air lindi supaya tidak mencemari air tanah. Begitu pula bagian atas sampah, ditutup rapat dengan karpet supaya gas potensial tidak lepas ke udara dan menambah emisi rumah kaca.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bekasi Dudy Setiabudhi mengakui bahwa masih ada infrastruktur pengolahan sampah yang belum dibuat untuk mendukung proyek listrik di Bantar Gebang. Dia menyebut drainase atau saluran air yang terintegrasi dengan instalasi pengolahan air sampah (IPAS). "Sumur gas bisa dikeringkan apabila ada drainase dari sumur gas menuju IPAS," kata Dudy.
Tak hanya itu, masalah lain muncul sejak belum disepakatinya harga jual listrik oleh PLN Jawa Barat. Pemerintah Kota Bekasi mematok harga jual tertinggi di atas Rp 700 per kWh. "Sebaiknya menunggu kesiapan produksi lebih dulu," kata Yata Sukmapuruhata, Asisten Manajer Perencanaan PLN Bekasi. Listrik memang tidak muncul gara-gara air lindi bocor dan gas metan menguap.
l HAMLUDDIN | UNTUNG WIDYANTO