“Harus diakui bahwa ACFTA membawa dampak negatif bagi industri di Indonesia. Tapi di sisi lain, ada pula dampak positif yang kita terima,” jelasnya, kepada wartawan di sela-sela musyawarah cabang Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Surakarta, Jumat (9/4) siang.
Dampak positif yang diperoleh misalnya sekarang ini terbuka kesempatan seluas mungkin, untuk memasarkan produk-produk Indonesia ke negara yang memiliki 1,3 miliar penduduk itu. Apalagi jika produk yang dipasarkan ke negara tirai bambu tersebut produk-produk berbasis industri kreatif yang dipadukan dengan budaya. “Misalnya batik. Itu kan sulit ditiru Cina,” katanya.
Dia menambahkan, sejatinya dalam tiga bulan terakhir nilai ekspor Indonesia ke China sudah meningkat. “Perdangangan kita dengan Cina sudah surplus. Jadi sebenarnya kita mendapat keuntungan dari penerapan ACFTA,” tuturnya.
Meski begitu, dia mengakui ada beberapa industri yang terpukul dengan pelaksanaan perdagangan bebas itu. Terutama industri tekstil, produk tekstil, alas kaki, dan industri yang berbasis metal. “Inilah yang harus dicari solusinya. Bagaimana supaya bisa tetap bertahan,” tukasnya.
Dia juga mengharapkan pemerintah benar-benar serius dalam membantu industri dalam negeri. Salah satunya dengan membatalkan rencana kenaikan tarif dasar listrik sebesar 15 persen. “Kenaikan listrik hanya akan membuat daya saing kita makin rendah,” dia beralasan.
Padahal, kata dia, Indonesia mulai dianggap sebagai negara yang menjanjikan untuk investasi. “Posisi Indonesia nomor 9 dari 15 negara destinasi terbaik untuk investasi,” ucapnya. Ditambah lagi, Indonesia dianggap sebagai pilar ekonomi ke-3 di Asia setelah China dan India.
Peluang di atas menurut Sandiaga harus betul-betul dimanfaatkan dan disertai dorongan pemerintah. Seharusnya, katanya, pemerintah mendukung dengan pembangunan infrastruktur, ketersediaan bahan bakar minyak dan gas, dan sebagainya. “Jangan malah menaikkan tarif listrik yang justru akan menghambat industri dalam negeri sulit bersaing,” tandasnya.
UKKY PRIMARTANTYO