Andy mengatakan kerusakan hutan di Bengkulu terbanyak disebabkan oleh perambahan hutan, yaitu perambahan tradisional oleh masyarakat. “Makanya kita gandeng kejati untuk menyelesaikan persoalan perdata terkait sengketa tanah antara perambah dengan BKSDA,” kata dia.
Direktur Penyelidikan dan Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan Awriya Ibrahim usai acara mengatakan pihaknya telah mengambil sikap tegas terhadap kondisi hutan Bengkulu tersebut. Karena jika tidak, tidak perlu waktu lama hutan yang tersisa 25 persen akan habis.
Hutan di Bengkulu, tambah Awriya, kebanyakan dibuka oleh perambah untuk berkebun, malah telah menghasilkan buah.
Selama ini, sosialisasi terhadap pemetaan batas-batas wilayah hutan masih kurang, maka ke depan semua pihak wajib berperan aktif terkait hal tersebut. Badan Konservasi juga tidak dapat disalahkan jika melakukan eksekusi terhadap lahan yang berada di kawasan hutan konservasi.
“Untuk melindungi hutan Bengkulu dan juga hutan Indonesia maka semua provinsi harus melakukan kerjasama dengan pihak terkait seperti yang telah dilakukan BKSDA Bengkulu, ” kata Awriya.
Pihak kehutanan juga telah mengirimkan surat edaran kepada gubernur di seluruh Indonesia untuk menginventaris perambahan hutan.
Sedangkan Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu Fietra Sany pada saat yang sama mengatakan siap memberikan pertimbangan dan tindakan hukum terhadap persoalan sengketa lahan hutan yang telah dirambah. “Kami akan mencari solusi dari persoalan perdata dan tata usaha yang dihadapi BKSDA Bengkulu,” tegas dia.
Hal tersebut, tambah Fietra, tidak lebih untuk meyelamatkan uang negara dan wibawa pemerintah terkait persoalan sengketa lahan antara Badan Konservasi Sumber Daya Alam dan perambah.
“Karena di Bengkulu banyak sekali kasus-kasus perambahan hutan, dan kita siap berada di belakang BKSDA untuk memberi solusi hukum terhadap penyelesaian kasus tersebut,” tegas Fietra.
PHESI ESTER JULIKAWATI