Namun, tahukah Anda apa alasan sutradara film dokumenter ini, Amit Virmani, seorang pria keturunan India mendokumentasikan kehidupan gigolo itu?
Berdasarkan situs film ini, ada alasan tertentu yang melatari Virmani membuat film ini. Pembuatan film ini, bermula ketika dirinya bertemu dengan seorang bocah berusia 12 tahun di pantai itu. Si bocah mendesaknya untuk mengajarinya bahasa Jepang. “Ketika saya dewasa, saya ingin menjadi gigolo bagi perempuan Jepang. Bocah itu menjawab dengan riang gembira,” cerita Amit seperti dilansir dalam situs cowboysinparadise.
Jawaban bocah itu rupanya mengganggunya. Ia gelisah akan masa depan bocah itu. “Mengapa bocah laki-laki ini begitu berhasrat untuk terlibat perdagangan kotor itu. Mengapa ia merasa bangga?” ujarnya dalam situs itu. Bagi sang sineas, surga adalah sebuah kata yang dipandangnya dengan curiga. “Apa surga ketika itu hanya menawarkan anak-anak dengan mimpi yang terbatas tentang masa depan,” kisahnya.
Dari kegelisahan itu, Virmani lantas merasa terpanggil untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. “Karena itulah saya membuat film ini,” katanya.
Hingga hari ini, film yang beredar bebas tersebut terus menuai kritik masyarakat Bali. Sebab, film ini dinilai tak menyampaikan fakta sebenarnya di lapangan meski fenomena gigolo memang diakui ada di Kuta. Heboh film ini juga membuat pihak satuan tugas Pantai Kuta meradang. Walhasil, razia rutin terhadap gigolo pun digelar, terutama ditujukan kepada gigolo yang merugikan turis dan merusak citra pariwisata Bali.
AGUSLIA HIDAYAH | cowboysinparadise.com