"Mengapa harus ada keharusan (bagi) mereka untuk mengupayakan penghidupan di tempat yang sudah dihidupinya bertahun-tahun?" ujar Henry Thomas Simarmata, penasehat senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, Selasa (27/4).
Menurut Henry, undang-undang itu mengatur perihal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir yang membuka komersialisasi tanah dan berpotensi memarjinalkan masyarakat adat. Terlebih, Hak Pengusahaan itu bersifat closed ownership alias kepemilikan tertutup. Artinya, sekali Hak Pengusahaan didapat sebuah perusahaan, tertutuplah peran ekonomi dan ekologi pihak lain.
"Ini membahayakan ketahanan negara, ekologi, dan perekonomian Indonesia," kata dia.
Antropolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dedi Supriadi Adhuri, berpendapat serupa. Ia menuding pasal 16 ayat (1) dalam beleid yang menyatakan pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Penguasaan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
"Pasal itu menganggap praktek hak ulayat dan pengelolaan pesisir/laut tradisional sebagai tidak ada dan digantikan dengan HP3," ujar dia. Dedi menyimpulkan bahwa aturan mengenai Hak Penguasaan menabrak konstitusi yang mengakui dan menghargai hak masyarakat adat beserta tradisinya. Padahal, tradisi masyarakat adat lazimnya menjaga kelestarian alam karena menyesuaikan eksploitasi sumber daya dengan siklus alam.
Uji materi ini diajukan oleh sembilan lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengadvokasi masalah lingkungan dan pertanian. Mereka ingin pasal-pasal beleid yang mengatur Hak Penguasaan dicabut karena mengkomersilkan pengelolaan laut dan pesisir. Undang-undang itu pun dinilai tumpang tindih dengan obyek perijinan di bidang kehutanan, pertambangan, dan pariwisata.
BUNGA MANGGIASIH