Mogok dilakukan sejak pukul 00.00 WIB 1 Mei 2010 sampai 2 x 24 jam. Untungnya hari ini tidak ada kapal yang bersandar. Namun besok ada satu kapal yang berlabuh di TPK Koja. "Bongkar muat tidak akan dilayani sampai tanggal 3 Mei. Kami minta maaf," kata Tedy. Upaya untuk memindahkan aktivitas bongkar muat ke JICT juga tidak mungkin karena SP JICT menolak sebagai bentuk solidaritas.
Menurut dia, mogok ini terpaksa dilakukan karena tidak ada titik temu dengan pihak manajemen. Ada tiga tuntutan. Pertama, perubahan status dari Kerja Sama Operasi menjadi Perseroan Terbatas. TPK Koja adalah kerjasama antara PT Pelindo II dengan Hutchison Ports Holding (HPH) dengan porsi 52 persen dan 48 persen. Karyawan kuatir jika pada saat KSO berakhir pada 2018, tidak ada kejelasan status karyawan. "Kita tidak ada jaminan untuk tetap bekerja," kata dia.
Kedua, karyawan menuntut adanya peremajaan alat-alat. "Alat kita sudah tua. Umur produktif dan ekonomisnya sudah habis" kata dia. Ia mencontohkan alat Rubber Tire Gantry atau Tanggo yang berfungsi untuk memindahkan peti kemas. Alat ini seharusnya sudah diganti karena sudah berumur lebih dari 12 tahun. "Alatnya jadi sering trouble, pelayanan jadi lamban," ujarnya. Selain itu tidak ada standar keamanan pada alat-alat kerja.
Ketiga, karyawan menuntut agar tidak ada diskriminasi antara karyawan JICT dengan TPK Koja. "Pemiliknya sama, yaitu Pelindo II dan HPH. Tapi perlakuannya beda," ujarnya. Secara rata-rata karyawan JICT menerima US $ 35 ribu dalam setahun, sedangkan rata-rata karyawan TPK Koja hanya US $ 9 ribu. "Padahal pekerjaannya sama," katanya.
Tuntutan karyawan tak hanya masalah kesejahteraan pekerja. "Kita mau TPK Koja tetap ada karena ini adalah aset bangsa," kata dia.
SOFIAN