TEMPO Interaktif, Jayapura - Dalam penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura di Papua belum lama ini, ditemukan secara umum para pekerja pers, terutama wartawan media lokal dan korespondennya, termasuk koresponden media nasional yang bekerja di Papua, masih digaji atau diberi honor di bawah upah layak regional Papua.
Hal itu diungkapkan Ketua AJI Kota Jayapura Victor Mambor saat jumpa pers peringatan Hari Buruh se-Dunia di Kota Jayapura, Sabtu (1/5) sore.
Victor menyatakan dalam penelitian ditemukan wartawan yang bekerja di media terbitan Papua tak pernah dilibatkan dalam penentuan besaran gaji atau honor yang diterima.
"Jadi mereka tak pernah tahu dasar perusahaan media tempat mereka bekerja menentukan honor atau gaji yang harus mereka terima per bulan atau per beritanya," terang Victor yang juga salah satu anggota tim penulis dalam buku penelitian AJI Kota Jayapura tentang kesejahteraan wartawan di Papua.
Akibat kondisi tersebut, lanjut Victor, kesejahteraan wartawan di Papua belum menjadi prioritas pengelola atau pemilik perusahaan media yang ada di Papua, termasuk pemberian tunjangan.
"Walau sudah ada beberapa perusahaan pers atau media yang memberikan Tunjangan Hari Raya (THR), tapi tunjangan kesehatan, keselamatan kerja dan asuransi belum menjadi prioritas," ujarnya.
Menurut Koordinator Advokasi AJI Kota Jayapura, Anang Budiono, beberapa perusahaan pers di Papua belum memenuhi hak-hak dasar dalam mempekerjakan seseorang menjadi wartawan.
"Seperti pemberian kontrak kerja dan menyediakan program-program peningkatan kapasitas dan kompetensi profesi sebagai wartawan," kata Anang yang juga terlibat dalam penelitian AJI Kota Jayapura soal kesejahteraan wartawan di Papua.
Anang juga mengatakan, banyak wartawan yang bekerja di beberapa media di Papua tak mengetahui hak dan kewajibannya, seperti hak mendapat cuti dan tunjangan saat di PHK.
"Bahkan mereka tak mengetahui hak berserikat untuk memperjuangkan kesejahteraannya maupun kewajiban menjaga etika profesi dan berpegang teguh pada UU Pers," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, lanjut Anang, karena profesi wartawan bersifat terbuka dan siapa pun boleh mendirikan perusahaan pers atau media, banyak bermunculan wartawan "abal-abal" alias wartawan yang tak jelas tulisannya tapi selalu muncul dalam tiap kegiatan, baik dilakukan pemerintah daerah maupun swasta di Papua.
Bahkan ada perusahaan pers atau media asal-asalan yang terbit seminggu atau sebulan kemudian hilang atau tak terbit lagi. Sebab dalam pelaksanaan prakteknya, pemberitaan wartawan "abal-abal" atau media asal-asalan ini terkesan tak memenuhi standar jurnalisme.
"Sangat memprihatinkan wartawan yang seperti ini, cenderung menggunakan kartu pers untuk melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik dan UU Pers," jelasnya.
Anang melanjutkan, AJI Kota Jayapura melalui Hari Buruh se-Dunia yang jatuh pada hari ini menyerukan kepada perusahaan pers yang ada di tanah Papua dan yang ada di luar Papua yang memiliki koresponden atau kontributor yang bekerja di Papua agar memberikan upah layak dan juga memberi jaminan kesejahteraan bagi wartawannya.
Selain itu, bagi perusahaan pers yang ada di Papua, tak boleh melarang pembentukan serikat pekerja pers. Juga berkewajiban memberikan pesangon kepada wartawannya yang di-PHK serta melaksanakan kontrak kerja dan memberikan hak-hak wartawan sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku.
CUNDING LEVI