TEMPO Interaktif, Palu - Sejumlah kalangan menilai pemadaman listrik bergilir yang makin parah dan berlarut-larut di Palu berpotensi menciptakan konflik di kalangan masyarakat.
Konflik bisa terjadi antara warga dan pemerintah, karena itu PT PLN Cabang Palu diminta lebih sungguh-sungguh mengurus kelistrikan di daerah itu.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) daerah Sulawesi Tengah, Dedy Askari, Senin (17/5), mengatakan andai saja pemadaman dengan pola 3:9 atau tiga jam menyala dan padam sembilan jam mati berlangsung dalam hitungan mingguan, maka boleh jadi akan terjadi kemarahan massal antarwarga sendiri.
Dedy menyebutkan bila kemarahan massal muncul, maka akan sulit dikendalikan. “Kita tahu kerumunan sering tak ada pimpinannya, yang ada adalah kekacauan massal,” katanya.
Wakil Ketua DPD PDIP Sulteng, Muharram Nurdin, menyatakan hal serupa. Muharram menyatakan PLN Palu telah menjelma menjadi provokator yang baik. Dia melihat waga Palu dan tiga kabupaten lain, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong sebagai wilayah koneksitas PLN Palu, tahun-tahun belakangan ini gampang sekali marah akibat PLN telah lama mengkanalisasi emosi rakyat.
“PLN telah melanggar hak asasi manusia. Sebagai perusahaan pelayanan listrik rakyat sudah tak berfungsi. Karena itu kita perlu boikot pembayaran rekening listrik,” tegasnya.
Menurut Muharram, masyarakat harus melakukan protes dengan berbagai cara, dengan tidak membayar dua bulan atau melakukan class action (gugatan perwakilan). “Saya siap menjadi motor penggerak,” katanya.
Sementara itu pemadaman listrik bergilir pola 3:9 sudah berlangsung tiga hari ini. Akibat pemadaman bergilir nyaris seluruh Kota Palu gelap gulita. Selain itu tiga kabupaten, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong, juga gelap gulita sebagai wilayah koneksitas PLN Cabang Palu.
Humas PLN Palu, Petrus Walasari, berjanji Sabtu depan (22/5) akan mengakhiri pemadaman pola 3:9. “Kami sudah sepakat dengan PLTU Mpanau mendatangkan 20 ton batubara,” katanya.
DARLIS