TEMPO Interaktif, Jakarta - Krisis yang terjadi di beberapa negara Eropa berimbas pada kenaikan imbal hasil (yield) surat utang negara. Namun kenaikan itu masih dalam batas kewajaran. Krisis ekonomi yang berawal di Yunani itu meningkatkan persepsi risiko terhadap negara-negara berkembang. Inilah yang menyebabkan kenaikan imbal hasil tersebut.
"Naik sedikit, tapi masih dalam batas kuotasi yield di pasar," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin (31/5). Pantauan Kementerian satu pekan lalu mencatat kenaikan rata-rata 0,25 persen.
Berbeda dengan pasar modal, instrumen surat utang negara lebih tahan terhadap krisis. Sebab investor asing yang memiliki obligasi negara menanamkan dananya dalam jangka panjang. Menurut portofolio, 76 persen obligasi negara memiliki jangka waktu lebih dari lima tahun.
Selain itu investor asing memahami bahwa obligasi pemerintah tak akan gagal bayar. "Jangka panjang Indonesia bagus, (peringkatnya) naik terus, terakhir dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development--Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi; red)," kata Rahmat.
Jumat pekan lalu lembaga pemeringkat internasional Fitch Inc menurunkan peringkat utang jangka panjang Spanyol menjadi AA plus dari AAA. Penurunan itu menyebabkan saham-saham di Eropa dan Amerika Serikat bereaksi negatif karena kekhawatiran merambatnya krisis ke Spanyol.
Rahmat menjelaskan krisis yang menimpa Eropa membawa keuntungan karena minat investor asing beralih ke Indonesia. Flight to quality ini terjadi di semua pasar negara berkembang. Untuk Indonesia, Rahmat melanjutkan, seharusnya sudah berada di tingkat investasi (investment grade).
Karena dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki prospek yang lebih baik. "Hanya masalah persepsi," ujar dia.
RIEKA RAHADIANA