“Saat total penjualan jamu Indonesia baru Rp 10 triliun, Malaysia sudah mencapai Rp 15 triliun. Maka saya mengusulkan adanya badan komunikasi supaya semuanya tidak berjalan masing-masing,” ujar Charles seusai membuka Rapat Kerja Nasional II Gabungan Pengusaha Jamu di Jakarta hari ini.
Dari Rp 10 triliun tersebut, kata Charles, sumbangan dari industri jamu murni hanya Rp 2 triliun. "Yang terjadi adalah diversifikasi jamu, mulai dari makanan, suplemen, minuman energi,” ujarnya.
Charles mengatakan Indonesia jauh tertinggal dalam hal pendidikan dan penelitian di bidang jamu-jamuan ketimbang Malaysia maupun negara-negara di Asia Tenggara lainnya. "Di Indonesia kini baru ada program Diploma 3 untuk jamu di dua universitas, sedangkan di Thailand saja ada 21 universitas yang punya program master di bidang jamu. Itu kelewatan kan," ungkapnya.
Padahal, kata dia, potensi penerimaan jamu bisa mencapai Rp 25 triliun dengan kekayaan tumbuhan rempah dan herba yang ada di Indonesia. "Tapi, kalau nggak didukung pemerintah, semisal regulasi dipersulit, cara pengaturan dipersulit, bagaimana bisa berkembang," ujar Charles.
Saat ini terdapat 1.166 industri jamu dan obat tradisional. Hanya 130 industri yang berskala menengah, sisanya 1.036 adalah industri skala kecil, termasuk industri rumah tangga.
Dia mengakui pembinaan dari pemerintah masih minim, terutama dalam hal peningkatan citra jamu dan pemasaran jamu. Ditambah lagi, kata dia, belum adanya koordinasi antara Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Kementerian Perdagangan.
Menghadapi pasar bebas ASEAN-Cina, Charles berharap Badan Forum Komunikasi yang mengatasi masalah jamu dari hulu ke hilir bisa segera dibentuk.
Dianing Sari