TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebanyak 23.103 anak di bawah umur di Nusa Tenggara Timur (NTT) dikategorikan sebagai pekerja anak, dengan rincian laki-laki 15.333 dan perempuan sebanyak 7.770 anak. Mereka dipaksa bekerja karena masalah ekonomi keluarga.
"Kita bekerja sama dengan International Labour Organization (ILO) untuk menghapus pekerja anak, sehingga memperoleh hak untuk pendidikan dan bermain," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, Mien Paty Noach, di Kupang, Sabtu (5/6).
Faktor penyebab tingginya pekerja anak di NTT karena masalah ekonomi, budaya atau tradisi dan kebiasaan, serta faktor pendidikan.
Dilihat dari aspek pendidikan, menurut dia, sebanyak 18,91 persen anak tak pernah sekolah, 40,45 persen belum tamat sekolah dasar (SD), 39,29 persen tidak tamat SMP dan 1,35 persen tamat SMP.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase anak mengenyam pendidikan semakin menurun. “Tugas kita adalah menahan dan menyadarkan anak-anak agar tetap sekolah,” katanya.
Sementara itu, Kepala ILO NTT Fausan Hazan mengatakan ada tiga komponen penting yang mempengaruhi keberadaan seorang pekerja anak yakni pemerintah, pengusaha dan pekerja. Untuk NTT, ILO memfokuskan program pada pengurangan angka kemiskinan serta menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja.
Dia mengatakan, data Badan Pusat Statistik tahun 2009 menunjukkan sekitar 80 persen penduduk NTT hanya lulus SD dan SMP. Itu menunjukkan angka partisipasi sekolah di NTT masih sangat rendah.
"Harus diingat, ada hubungan cukup erat antara kemiskinan dan tingkat pendidikan. Mengingat pekerja anak di NTT sangat banyak, sedang diupayakan agar pekerja anak dapat mengenyam pendidikan yang memadai," katanya.
Ketua Yayasan Nusa Bunga Abadi, Mien Patty Mangoe, mengatakan lembaga yang dipimpinnya memberi perhatian pada anak-anak usia sekolah yang kini sebagai pekerja anak. Tujuannya untuk mencegah angka putus sekolah dan mengembalikan anak-anak ke sekolah serta pencegahan terhadap pekerja anak.
YOHANES SEO