TEMPO Interaktif, Bandung - Sekolah yang akan naik status menjadi Sekolah Bertaraf Internasional ketar-ketir. Mereka nantinya harus membiayai operasional sendiri karena pemerintah menarik seluruh subsidi. Biaya sekolah bakal melambung tinggi.
Koordinator Rintisan Sekolah Menengah Atas Bertaraf Internasional 5 Bandung Suhendri mengatakan, kenaikan status dari RSBI menjadi SBI menjadi dilema bagi sekolahnya. Di satu sisi, ada kebanggaan karena sekolah bertaraf internasional. Di sisi lain, sekolah harus menggali dana sendiri dengan berbagai cara. "Berat kalau subsidi ditarik," kata guru ekonomi di SMAN 5 itu, Kamis (10/6).
Sejak dua tahun lalu menjadi SBI, sekolah itu mendapat subsidi block grant sebesar Rp 300 juta pada 2008 dan Rp 600 juta tahun lalu. Dengan bantuan sebesar itu, uang masuk ditetapkan Rp 4,5 juta dengan biaya iuran per bulan Rp 375 ribu per siswa.
Dari hasil evaluasi kementerian, kata dia, sekolahnya dikabarkan akan naik status menjadi SBI. "Trendnya (biaya) akan naik," ujarnya. Sebelumnya diberitakan, dari hasil evaluasi tahunan kementerian, ada 12 SMP, SMA, SMK berstatus RSBI yang diturunkan kembali menjadi sekolah standar nasional (SSN).
Dibandingkan dengan biaya sekolah berstatus SSN, biaya di RSBI lebih mahal sedikitnya dua kali lipat. Menurut Kepala SMAN 12 Bandung Hartono, biaya masuk di sekolahnya yang masih berstatus SSN sebesar Rp 2,5 juta dengan iuran per bulan Rp 150 ribu. "Saya menolak jadi RSBI supaya ada pemerataan pendidikan," katanya, Kamis (10/6). Alasannya menurut Hartono, tidak ada standar bagi kapasitas guru dan sarana sekolah bertaraf internasional.
Koordinator Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Bandung Dwi Subawanto mendesak pemerintah segera menghapuskan sekolah bertaraf internasional. Sebab status itu membuat kasta sekolah dan biaya pendidikan sangat mahal. "Semuanya baru siap di tataran konsep, belum pada pelaksanaan di kelas," ujarnya.
Sekolah bertaraf internasional dan rintisannya membiasakan proses belajar mengajar di kelas dengan bahasa Inggris. Pelajaran pun disampaikan dengan alat bantu proyektor. Setiap kelas yang berisi 20-an siswa diajar oleh sepasang guru.
ANWAR SISWADI