TEMPO Interaktif, Banda Aceh: Lima nelayan tradisional yang berasal dari Aceh saat ini menjadi tawanan pemerintah Myanmar. Mereka divonis dua tahun karena dinilai bersalah memasuki wilayah negara itu tanpa izin.
Anggota tetap Badan Dukungan International untuk Pekerja Perikanan (International Collective Support of Fishwoker - ICSF), Adli Abdullah mengatakan, informasi tentang para nelayan Aceh itu diperoleh dari seorang rekan di sana. “Informasi baru kami dapat dan mereka di penjara,” ujar Adli, hari ini.
Adli berharap pemerintah Indonesia dan pihak kedutaan Myanmar di Indonesia memperhatikan nasib mereka. Paling tidak nelayan-nelayan itu dibebaskan atau mendapat keringanan hukuman. Sebab tujuan mereka hanya mencari ikan di laut dan secara tidak sengaja masuk ke wilayah negara lain. “Kami juga terus mengupayakan advokasi kepada mereka,” ujarnya.
Upaya advokasi kepada para nelayan Aceh tersebut juga terus dilakukan Panglima Laot Aceh (Lembaga Adat Nelayan). “Kami terus melakukan upaya untuk keringanan hukuman nelayan di Myanmar, dengan meminta turun tangan pihak kedutaan Indonesia di sana dan kementrian luar negeri,” ujar Pimpinan Panglima Laot Aceh, HT Bustamam.
Sebelumnya diberitakan, para nelayan Aceh ini berlayar mencari ikan dengan menggunakan perahu ‘Tuah Kana’. Mereka berangkat dari Lampulo, Banda Aceh sejak 3 April 2010. Mereka sempat dinyatakan hilang. Delapan hari kemudian baru diketahi jika nelayan-nelayan itu terdampar di Myanmar dan menjadi tahanan.
Kelima nelayan tersebut adalah Irwanto, 38 tahun, Mahlil (28), Faisal (25), Banta Lidan (45), warga Banda Aceh dan Syamsuddin (45), warga Aceh Barat Daya.
ADI WARSIDI