Ditemui seusai rapat koordinasi menteri bidang perekonomian, Mari Elka menyatakan pelarangan ekspor rokok keretek ini mengakibatkan keretek indonesia kehilangan pasar hingga US$ 100 juta atau setara Rp 9,2 triliun per tahun. "Itu angka terakhir ekspor rokok keretek kita ke sana sebelum dilarang," ujarnya.
Ia menambahkan, pelarangan ini berawal dari penerapan Undang-Undang Tembakau di negara tersebut. Dalam aturan itu disebutkan terdapat pembahasan rokok beraroma (flavour cigarrete). "Misalkan rokok berasa stroberi, permen karet, rokok menthol, dan keretek juga masuk di dalamnya," kata Mari Elka. Rokok jenis ini dituding pemerintah Amerika menyebabkan ketergantungan bagi anak di bawah umur.
Namun, Mari Elka menjelaskan, terjadi pendiskriminasian dalam implementasi undang-undang ini. "Jadi yang mentol dibiarkan, sementara yang keretek dilarang," tuturnya. Karena itu, pemerintah melayangkan surat protes kepada Amerika mengenai hal tersebut "Kami minta penjelasan ilmiah-nya seperti apa," katanya.
Indonesia mengajukan gugatan kepada badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang bernaung di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait diskriminasi rokok keretek dalam Undang-Undang Kontrol Tembakau Amerika Serikat. "(Panel) sudah diajukan pekan lalu," kata Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami di Jakarta, Senin (14/6).
Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan aturan bernama Tobacco Control Act itu. Di dalamnya memuat poin yang menyatakan pelarangan penjualan keretek di Amerika. Pelarangan tersebut berdasarkan dalih keretek atau rokok beraroma lebih berbahaya daripada rokok tidak beraroma.
Langkah pengajuan panel ke WTO itu dilakukan setelah konsultasi yang dilakukan kedua negara tidak mendapatkan titik temu. Selain itu, Amerika telah mengabaikan permintaan Indonesia untuk mengklarifikasi berupa penjelasan ilmiah terkait pernyataan keretek lebih berbahaya.
Batas akhir bagi Amerika untuk memberi jawaban tertulis adalah 5 Juni lalu. Tenggat itu disepakati saat Indonesia dan Amerika melakukan konsultasi mengenai aturan itu Mei lalu. "Namun, sampai kini klarifikasi belum ada. Kita akan melakukan panel sesuai dengan hak kita di WTO," ujarnya.
Pemberlakuan kebijakan tersebut dinilai sangat merugikan industri tembakau di Indonesia. Sebab sebanyak 99 persen rokok Amerika disuplai oleh Indonesia. Potensi kerugian Indonesia diperkirakan mencapai hingga US$ 200 juta atau sekitar Rp 18,4 triliun.
Pada panel itu Indonesia akan menyampaikan bukti dan fakta kepada pemerintah Negeri Abang Sam. "Bukti dan fakta bahwa aturan itu tak sesuai dengan kewajiban internasional karena terjadi diskriminasi," katanya. "Kalau sudah masuk panel, kemungkinan prosesnya baru selesai dalam tiga tahun."
Indonesia pernah memprotes kebijakan Korea Selatan yang merevisi kebijakan dumping kertas. Kala itu, Korea menyatakan industri dalam negerinya masih krisis. Namun, Indonesia melihat sebetulnya industri kertas Korea sudah pulih. Indonesia membawa masalah tersebut hingga tahap panel DSB. Indonesia akhirnya menang dalam panel yang berlangsung selama dua tahun.
FEBRIYAN