Bambang tidak menjelaskan siapa saja yang dilaporkannya. Namun dia mengatakan, selain dipaksakan, pelaksanaan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Surabaya itu juga dinilai janggal. ”Kami minta KPK maupun Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mencermati ada apa dibalik pemaksaan eksekusi tersebut,” ujar Bambang kepada Tempo.
Pemerintah Kota Surabaya, kata Bambang, telah menempuh berbagai upaya hukum. Di antaranya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan agar Hak Pengelolaan Kebub Bibit diserahkan kepada PT Surya Inti Permata. Sambil menunggu putusan PK, Pemerintah Kota Surabaya juga telah meminta fatwa MA agar memerintahkan Pengadilan Negeri Surabaya menunda pelaksanaan eksekusi.
Kepada KPK maupun Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Pemerintah Kota Surabaya menjelaskan secara detail tentang keberadaan kebun bibit tersebut. Di antaranya, PT Surya Inti Permata (PT SIP) tidak memiliki Ijin Pemakaian Tanah (IPT) kebun bibit. ”Bagaimana mungkin PT SIP diberikan hak pengelolaan sedangkan perusahaan itu tidak mengantongi IPT,” tutur Bambang pula.
Bambang menegaskan tanah di kawasan kebun bibit tersebut merupakan milik atau aset Pemerintah Kota Surabaya. Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2002, juga disebutkan bahwa kebun bibit yang menjadi ruang terbuka hijau (RTH) dikelola oleh pemerintah, dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta.
Itu sebabnya, menurut Bambang, semestinya pengadilan tidak memberikan hak pengelolaan kepada PT SIP yang merupakan perusahaan swasta. ”Mudah-mudahan KPK maupun Satgas Pemberantasan Mafia hukum mencium ketidakberesan atau kejanggalan dibalik keputusan pengadilan tersebut,” kata Bambang.
Kuasa Hukum PT SIP Muara Harianja, hingga berita ini ditulis belum memberikan penjelasan kepada Tempo. Pertanyaan yang diajukan Tempo melalui pesan pendek tidak dijawab.
Berdasarkan catatan Tempo, eksekusi dilakukan sebagai akhir dari sengketa antara PT SIP sebagai penggugat dan Pemerintah Kota Surabaya sebagai tergugat. PT SIP merasa dirugikan akibat pembatalan hak pengelolaan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusannya Juni 2003 memerintahkan Pemerintah Kota Surabaya menyerahkan kembali hak pengelolaan kepada PT SIP. Putusan tersebut diperkuat Pengadilan Tinggi Jawa Timur Maret 2004, dan kasasi MA Maret 2008. Tahun 2009 Pengadilan Negeri Surabaya mengeluarkan penetapan eksekusi.
Menanggapi penetapan eksekusi tersebut, Pemerintah Kota Surabaya, Pebruari 2009, mengajukan upaya PK. Salah satu alasannya adalah Perda tentang pengelolaan RTH. Selain itu, Pemerintah Kota Surabaya telah membentuk Unit Pelaksana Tekhnis Daerah (UPTD) yang khusus mengelola kebun bibit tersebut.
Kekusutan pengelolaan kebun bibit terjadi semasa Walikota Surabaya dijabat Sunarto Sumoprawiro (almarhum). PT SIP mengantongi hak pengelolaan sejak Maret 1997. Sebagian kebun bibit seluas 45.000 hektare itu kemudian digunakan untuk membangun kawasan pertokoan. Pada Oktober 2001, hak pengelolaan PT SIP dibatalkan, kemudian dialihkan kepada PT Floraya Indah Sentosa.
Kasus kebun bibit bukan yang pertama. Sebelumnya dua aset Pemerintah Kota Surabaya juga jatuh ke tangan swasta, yakni Kolam Renang Brantas, dan Lapangan Tenis Pores di Jalan Embong Wungu, yang bahkan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. JALIL HAKIM.