Rekomendasi itu dinilai berlebihan, dan bertentangan dengan demokrasi. "MUI terlalu tergesa-gesa. Berbusana adalah masalah kepantasan publik, dan tak harus dipaksakan dengan mengatasnamakan agama tertentu," kata Aan Anshori, Koordinator JIAD, Kamis (01/7).
Seperti diberitakan, Senin (28/6) kemarin, MUI mengadakan rapat kerja daerah. Dalam rapat itu, ulama merekomendasikan pemerintah kabupaten agar membuat aturan seragam sekolah sesuai syariat Islam. Selain itu, ulama juga mengharamkan aktifitas perpeloncoan bagi siswa baru.
Aan menjelaskan, tanpa alasan yang cukup obyektif, MUI menganggap regulasi itu penting. Hanya karena alasan terganggu dengan banyaknya pelajar (perempuan) yang menggunakan rok mini, MUI lantas merekomendasikan penggunaan busana sesuai syariat tidaklah bijak.
Ulama lupa, penerapan syariat Islam dalam berbusana akan terbentur dengan falsafah demokrasi, dan kebebasan dalam menentukan sikap dan pilihan masyarakat. Pemaknaan terhadap syariat Islam juga beragam, mengingat Indonesia bukan negara Islam.
Sebab itu, tidak boleh ada pemaksaan dengan mengatasnamakan agama tertentu. "Padahal konsepsi kenegaraan kita meletakkan negara berada dalam jarak yang sama," kata dia. Aan melanjutkan, seharusnya MUI lebih sensitif terhadap isu pendidikan lain yang tak kalah pentingnya. Misalnya biaya pendidikan, gaji guru, dan kasus pungutan liar yang merugikan masyarakat.
MUI juga harus mendorong pemkab lebih serius merespon rendahnya gaji tenaga honorer pendidik, dan menyiapkan dana bagi masyarakat miskin.
Sementara itu, Dinas Pendidikan (Dindik) kabupaten setempat justru mendukung usulan MUI. Hanya saja, aturan seragam sekolah sesuai syariat Islam hanya diterapkan bagi muslimah saja.
Sementara untuk non muslim sudah ada ketentuan sendiri, yakni rok harus lima sentimeter di bawah lutut. "Kami mendukung usulan itu, tapi harus proporsional," kata Kepala Dindik, Setyo Darmoko.
MUHAMMAD TAUFIK