TEMPO Interaktif, Makassar -Kegaduhan mulai terasa di ruang Meranti Rumah Sakit Umum Daerah Dadi saat Thomas Muller menjebol gawang Argentina dengan sundulan dari bola tendangan bebas pemain Jerman lainnya. "Gol? gol?, yes, 1-0? 1-0?!" beberapa penonton kegirangan pada Sabtu pekan lalu.
Sebagian berdiri sambil berjoget dan berteriak-teriak, sebagian lain mencoba mencandai rekannya yang mengunggulkan Argentina. "Kubilang memang ji tadi, pasti menang mi ini Jerman," kata seorang pasien sambil mengacungkan jari telunjuk ke pasien lain di belakangnya.
"Belum pi ces, masih panjang waktunya," pasien lain pendukung tim Tango angkat suara. Kegaduhan berlangsung sekitar 2 menit sebelum mereka larut dalam pertandingan.
Rumah Sakit Dadi adalah rumah sakit jiwa di Sulawesi Selatan. Ruangan Meranti hari itu lebih ramai dibanding hari biasa. Dalam ruangan berukuran 8 x 12 meter itu terdapat sejumlah lelaki yang asyik memelototi televisi berukuran 14 inci.
Televisi diletakkan di atas lemari kayu setinggi jangkauan tangan orang dewasa. Malam itu ruangan ditata berbeda dari malam sebelumnya. Para penghuni rumah sakit ingin menonton pertandingan besar sepak bola antara tim Jerman dan Argentina.
Para penonton sebagian besar merupakan pasien rumah sakit jiwa. Seorang mantri sejak awal duduk mengawasi. Kala mulai gaduh, sang mantri angkat bicara. "Kalau tidak bisa diam, TV-nya saya matikan!" lelaki itu lantang berbicara sambil memandang ke arah pasien.
Komentar sang mantri, yang lebih bermakna peringatan, terbukti ampuh. Seketika suasana hening. Mereka kembali larut dalam pertandingan, memelototi kotak ajaib di depannya. Sesekali, meski terdengar riuh-rendah, masih ada pasien berceloteh.
Celoteh bisa muncul kala umpan tidak akurat atau pelanggaran pemain di lapangan. Terkadang mereka saling silang komentar. Ada teriakan kartu kuning, kartu merah, hingga kepemimpinan wasit yang dianggap berat sebelah. Jika sudah demikian, sang mantri atau petugas piket malam harus mengingatkan mereka agar tak gaduh.
Riswan, salah seorang petugas piket malam, menuturkan, meski pihak rumah sakit memberikan kesempatan kepada pasien menonton Piala Dunia, mereka harus tetap diawasi. "Kalau tidak diawasi, bisa-bisa berantem," ia menjelaskan.
Selain itu, Riswan mengatakan, suasana tenang harus senantiasa dijaga di area tersebut. Alasannya, seratusan lebih pasien lain sedang beristirahat. Apalagi, kata dia, pasien yang beristirahat kebanyakan menderita sakit parah. "Kegaduhan kecil saja, seperti jika ada pembesuk yang membagikan rokok atau makanan ringan, bisa memancing pasien lain," kata dia.
Arismunandar, 19 tahun, seorang pasien, menuturkan, meski terdengar gaduh saat menonton, tak semua pasien memahami apa yang mereka saksikan. Kebanyakan mereka hanya ikut bersorak saat melihat rekannya berteriak kegirangan. "Begitulah ulah pasien di sini saat menonton bola," kata Nandar, panggilannya. "Ada-ada saja yang dikomentari."
Nandar mengaku sudah bisa keluar dari rumah sakit setelah memperoleh hasil pemeriksaan terakhir dokter. Berbeda dengan rekan-rekannya, kondisi pria asal Bantaeng itu sudah normal. Pandangan matanya tak lagi kosong layaknya pasien pengidap gangguan jiwa. Ia pun bisa diajak mengobrol, terutama seputar Piala Dunia Afrika Selatan.
Ihwal kelakuan aneh rekan-rekannya selama menonton Piala Dunia, Nandar menyatakan hampir terjadi setiap menonton tayangan itu. Saat Belanda menekuk Brasil 2-1, ia menambahkan, seorang pasien fan berat tim Samba sangat terpukul. Begitu kecewanya, ia sampai menelepon Dunga.
"Tangannya ditempelkan ke telinga, seolah-olah sedang menelepon," kata dia. "Lama sekali ia berbicara. Padahal ia tidak sedang memegang handphone. Namanya juga orang tidak waras."
ARIFUDDIN KUNU