TEMPO Interaktif, Cirebon - Setiap tahunnya, ratusan hektare lahan pertanian di Kabupaten Cirebon hilang akibat pembangunan. Kebijakan memperketat alih fungsi lahan pun akhirnya diterapkan.
Sejak lima tahun lalu, ratuan hektare areal pertanian di Kabupaten Cirebon beralih fungsinya. Luasnya bahkan mencapai 200 hektare setiap tahunnya. "Areal pertanian yang hilang tersebut digunakan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan," kata Ali Effendi, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Cirebon. Di antaranya untuk pembangunan perumahan, industri, termasuk jalan tol.
Pertumbuhan penduduk yang pesat juga membutuhkan pembangunan yang cepat. Seluruh pembangunan itu, menurut Ali, membutuhkan lahan sebagai tempatnya. "Jadi pembangunan memang tidak bisa dihindarkan," katanya.
Untuk menghindari terjadinya alih fungsi lahan secara serampangan, Ali mengungkapkan pihaknya sudah memperketat izin. "Kami saat ini telah melakukan pembatasan alih fungsi lahan. Izinnya kami berikan secara ketat," kata Ali.
Hal tersebut dilakukan untuk melindungi tanaman padi maupun holtikultura dari penurunan produksi. Terlebih Kabupaten Cirebon selama ini sudah dikenal salah satu lumbung padi di Indonesia, termasuk tanaman holtikulturanya.
Karena itu, setiap kegiatan alih fungsi lahan saat ini harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). "Jika tidak sesuai, akan kami tolak," katanya.
Areal pertanian, menurut Ali, banyak yang dimiliki oleh pribadi. "Jadi kami pun tidak bisa memaksa para pemilik lahan untuk tidak menjual lahannya," katanya.
Namun ada upaya lain yang bisa dilakukan agar produksi beras di Kabupaten Cirebon tidak terganggu. Yaitu dengan intensifikasi lahan pertanian. "Hasil gabah perhektarnya ditingkatkan dengan penggunaan pupuk yang berimbang serta antisipasi dini serangan hama," kata Ali.
Saat ini luas areal tanaman padi di Kabupaten Cirebon mencapai 44 ribu hektar, tebu seluas 9 ribu hektar, bawang merah seluas 3 ribu hektar dan cabai merah seluas 2 ribu hektar.
IVANSYAH