“Kami akan mengikutsertakan Perusahaan Pengelola Aset, PT Danareksa Sekuritas, dan PT Bahana Securities untuk back up pendanaan. Sedangkan back up teknis akan melibatkan PT Aneka Tambang Tbk,” kata Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar di kantornya hari ini.
Nantinya, kata Mustafa, BUMN yang ditunjuk sebagai pelaksana teknis, yakni Antam akan ikut berdiskusi dengan tim teknis pimpinan Menteri Perindustrian MS Hidayat. “Mudah-mudahan dalam rapat pendahuluan Antam sudah inform (menyatakan kesediaan). Sehingga ketika negosiasi, lebih kuat bargaining position (posisi tawar)-nya untuk dapat dimenangkan seratus persen oleh Indonesia.”
Menurut Mustafa, karena Antam merupakan perusahaan publik dalam proses ini Antam perlu meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) nonpemerintah. Namun jika nanti pada akhirnya dipilih opsi joint venture atau kerjasama dengan perusahaan lain, Antam tak perlu meminta persetujuan RUPS nonpemerintah.
Sebelumnya, Mustafa pernah menyebut PT Krakatau Steel (Persero) memiliki peluang bekerjasama dengan Antam untuk menguasai sepenuhnya saham Inalum. Mengenai hal ini, Mustafa mengatakan, Kementerian akan melakukan kajian lebih lanjut. “Setelah selesai negosiasi, baru konsolidasi dengan BUMN lain dilakukan,” ujarnya.
Berkaitan dengan pembiayaan oleh Bahana, Danareksa, dan PPA, kata Mustafa, ketiganya sudah memiliki sumber modal. “Saya kira seperti PPA, sudah ada penyertaan modal tambahan. Untuk Danareksa, kami nanti mempercayakan BUMN Fund pada mereka. Sedangkan Bahana, dengan kondisi sekarang, dia bisa maju.”
Saat ini, kata Mustafa, Kementerian sedang melakukan finalisasi pembuatan proposal konsep. “Proposal itu nanti diserahkan ke pemerintah. Di pemerintah ada beberapa alternatif (pengambilalihan Inalum). Tapi alternatif-alternatif itu bukan porsi kita. Kementerian BUMN alternatifnya hanya satu, seratus persen saham Inalum untuk Indonesia,” ujarnya.
Inalum didirikan di Jakarta pada 6 Januari 1976 berdasarkan Perjanjian Induk (Master of Agreement) yang diteken pada 7 Juli 1975 di Tokyo. Pemerintah Indonesia saat itu meneken perjanjian dengan 12 perusahaan swasta Jepang.
Mereka adalah Sumitomo Chemical Company Ltd, Sumitomo Shoji Kaisha Ltd, Nippon Light Metal Company Ltd, C Itoh & Co Ltd, dan Nissho Iwai Co Ltd. Selain itu, Nichimen Co Ltd, Showa Denko KK, Marubeni Corp, Mitsubishi Corp, dan Mitsui Aluminium Co Ltd.
Sebanyak 41,1 persen saham Inalum dimiliki Indonesia, adapun sisanya 58,9 persen milik pemerintah Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan 12 perusahaan yang meneken kesepakatan tersebut.
Kontrak Inalum akan berakhir pada 2013. Sesuai ketentuan yang diteken dalam perjanjian itu, tiga tahun sebelum masa kontrak berbentuk "build, operate, and transfer" (BOT) itu berakhir, semua pembayaran utang harus dilunaskan.
Investasi proyek raksasa Asahan ditanamkan sejak 1976. Proyek yang berlokasi di Porsea, Asahan, Sumatera Utara itu, menelan dana sekitar 400 miliar yen atau setara Rp 50 triliun dengan modal pinjaman dari pemerintah Jepang.
ISMA SAVITRI