Sekitar satu dari tiap empat orang yang dipantau oleh para peneliti di tempat umum tidak mau repot menutup mulut ketika batuk atau bersin. Hanya segelintir orang, atau kurang dari lima persen orang yang menutupi mulutnya menggunakan metoda sesuai rekomendasi petugas kesehatan, yaitu memakai tisu atau lengan.
“Studi ini menunjukkan betapa rendahnya prevalensi perilaku pernafasan hygiene yang direkomendasikan dan mengindikasikan bahwa pesan kesehatan yang dipromosikan dalam iklan media massa tidak dilihat atau tidak siap diadopsi oleh masyarakat di kota ini,” kata Nick Wilson dari Otago University Wellington di New Zealand, yang terlibat dalam penelitian tersebut.
Studi itu digelar di tiga lokasi di Wellington, ibukota Selandia Baru, yang kualitas kampanye kesehatan masyarakat selama pandeminya setara dengan apa yang dilakukan di Amerika Serikat dan negara lain di seluruh dunia. Meski demikian, para peneliti mengatakan hasil studi mereka tidak mencerminkan kondisi di tempat lain.
Hasil studi yang dipresentasikan dalam International Conference on Emerging Infectious Diseases di Atlanta, Amerika Serikat itu memaparkan bahwa salah satu tindakan sederhana yang direkomendasikan dalam kampanye di media adalah menutup mulut dengan tisu atau bagian dalam lengan untuk mencegah virus menempel di tangan dan menyebar ke permukaan benda di sekelilingnya.
Batuk dan bersih menyemburkan kuman dalam kecepatan tinggi. Jika anda batuk, tak kurang dari 3.000 tetesan kecil cairan tersembur dari mulut, beberapa di antaranya memiliki kecepatan hingga 80 km/ jam. Bersin lebih buruk lagi karena menyemburkan 40.000 droplet dengan kecepatan hingga 320 km/jam.
Jika seseorang sakit, droplet ketika dia batuk dapat mengandung virus hingga dua ratus juta partikel. Di udara, virus dalam tetesan kecil cairan itu dapat bertahan hidup sampai empat jam. Ketika mendarat di atas kertas, partikel virus itu bisa bertahan se lama berjam-jam, sedangkan di atas besi atau plastik mereka bisa hidup hingga berhari-hari.
TJANDRA | LIVESCIENCE