Menurut Margiyono, jelasnya status infotainmen sebagai program non-faktual, akan membuat masyarakat tak lagi bingung membedakan berita dan infotainmen. “Dengan kebingungan itu, jurnalisme sering dianggap tidak etis,” ujarnya.
Ia memandang rencana KPI ini tidak akan mengancam kebebasan pers. “Bagi yang menganggap infotainmen itu pers, rencana ini mengancam kebebasan pers. Tapi bagi yang tidak, seperti kami, tidak akan menganggap ini mengancam kebebasan pers,” ujarnya.
AJI memang tidak menganggap infotainmen sebagai pers dan tidak menerima pekerja infotainmen untuk bergabung. “Ada tiga hal yang membuat infotainmen bukan jurnalisme,” kata Margiyono.
Pertama, obyek jurnalisme adalah masalah-masalah publik, sementara obyek infotainmen adalah masalah privat. “Pacaran, kawin, cerai, itu bukan masalah publik,” ujar Margiyono. Menurutnya, subyek infotainmen juga bukan pejabat publik, melainkan selebritas.
Kedua, organisasi kerja. Dalam jurnalisme, berita dibuat oleh redaksi, sementara produk infotainmen dibuat oleh rumah produksi. “Rumah produksi itu bagian dari industri hiburan, karyawannya juga tidak terdidik ilmu jurnalistik,” kata Margiyono. Ia menambahkan memang ada beberapa produk infotainmen yang dibuat oleh redaksi. “Tapi tetap saja dibuat di bagian produksi dalam bagian redaksi tersebut.”
Ketiga, cara kerja. Dalam membuat berita, jurnalis harus hormat pada kode etik jurnalistik, sementara infotainmen tidak bekerja dengan mematuhi kode etik ini. “Mulai dari menanyai narasumber, editing, hingga presenting atau pembawaan, tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik,” ujar Margiyono.
Karena dinilai tidak sesuai dengan jurnalisme berdasarkan tiga hal di atas, Margiyono mengatakan infotainmen harus tunduk pada konsekuensi. “Yaitu tidak dilindungi Undang-Undang Pers dan dikenai aturan sensor,” katanya.
PUTI NOVIYANDA