Dia mencontohkan kasus bocornya video porno yang diduga diperankan selebritas. Menurut Imam, berita mengenai bocornya video itu merupakan karya jurnalistik karena bisa terjadi kepada semua orang dan mengancam ruang pribadi seseorang.
Tapi membahas bagaimana perasaan keluarga sang selebritas sama sekali bukan karya jurnalistik, karena tidak berkaitan dengan substansi sebenarnya. "Bagaimana mengolah tulisan dan gambar adalah pesan. Pesan itu tetap harus patuh terhadap etika jurnalistik yang jujur dan tidak memihak," ujarnya.
Dia mengingatkan bahwa jurnalis televisi justru harus lebih berhati-hati ketimbang jurnalis media cetak. Sebab, televisi adalah media audio visual, maka harus lebih tinggi dalam membangun kepercayaan masyarakat.
Imam tidak mau terjebak dalam perdebatan terminologi soal tayangan infotainmen, meski Komisi Penyiaran Indonesia sebelumnya menyatakan tayangan infotainmen dan reality show tengah dikategorikan sebagai tayangan nonfaktual.
Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia Karni Ilyas menegaskan, pekerja infotainmen merupakan wartawan karena sama-sama mewartakan dan menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi. "Nonfaktual bagaimana? Misalnya pada Anang dan Krisdayanti cerai, itu kan faktual," kata Karni.
Menurut dia, jika mau menghukum tayangan infotainmen, seharusnya dilihat kaidah jurnalistik seperti apa yang disusun. "Bukan menentukan faktual atau tidak," ujarnya.
Karena itu, ia menyerahkan kepada Dewan Pers untuk menilai apakah tayangan infotainmen dalam pemberitaannya sudah memenuhi kaidah jurnalistik ideal atau belum. "Saya kan sudah mengangkat Dewan Pers. Jadi biar Dewan Pers yang menentukan apakah infotainmen memenuhi kaidah jurnalistik atau tidak," tutur Karni.
RENNY FITRIA SARI