TEMPO Interaktif, Jakarta -Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) menyatakan sangat berat berkompetisi dengan Cina pasca perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina diberlakukan. Pasalnya, selain daya saing produk yang kurang, kebijakan pemerintah di sektor usaha kehutanan pun masih lemah.
Hal tersebut diungkapkan Pejabat sementara (Pjs) Ketua Harian MPI, Agung Nugraha dalam seminar bertemakan Menjaga dan Mengoptimalkan Pemanfaatan Fungsi Hutan di Hotel Sahid Jaya hari ini.
Menurut Agung, semenjak perdagangan bebas diberlakukan produk-produk khususnya mebel dari Cina terus membanjiri pasar Indonesia. Padahal dari segi sumber daya alam Indonesia memiliki keunggulan karena berlimpahnya sumber daya alam.
Tidak berkembangnya usaha di sektor kehutanan, lanjut Agung, antara lain dikarenakan kepastian kawasan dan jaminan usaha dari pemerintah masih sangat kurang. Beberapa kali terjadi kasus akibat pemekaran wilayah misalnya areal hak pengusahaan hutan (HPH) dan Hutan Tanam Industri (HTI) milik pengusaha berpindah tangan menjadi milik pemerintah daerah. "Bahkan ada yang menempati hutan lindung dan konservasi. Itu akibat perubahan tata ruang wilayah. Ini menafikan eksistensi dan hak pengusaha yang berlandaskan hukum," tuturnya.
Ada pula isu pemanasan global dan perubahan iklim, yang kemudian dibuat perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Norwegia dalam bentuk Leter of Intent (LoI). Lantas, Indonesia akan memberlakukan moratorium (penghentian sementara) untuk konversi lahan gambut dan hutan alam selama dua tahun. Ada pula karena rendahnya daya saing akibat kurangnya efisiensi karena mesin-mesin tua, kualitas rendah, dan harga lebih mahal karena tingginya biaya produksi. Permasalahan lainnya, buruknya pencitraan hasil hutan Indonesia seperti ilegal logging dan pengerusakan hutan.
Permasalahan minimnya infrastruktur pun juga memberi kontribusi terhadap sulitnya produk dari sektor kehutanan bersaing dengan Cina. "Infrastruktur Cina dan Indonesia ibarat langit dan bumi," ujarnya.
Infrastruktur Cina dalam bentuk jalan itu mencapai 3,6 juta kilometer. Indonesia hanya 53 ribu kilometer. Belum lagi jalan tol, di Cina sampai 3.901 kilometer. Indonesia hanya 772 kilometer. Belum lagi masalah suku bunga kredit di Cina yang hanya 5 persen. Sedangkan Indonesia masih diatas 13 persen. "Makanya pertumbuhan industri Cina bisa 8 persen, sedangkan kita cuma 2 persen," ujar dia.
Padahal, kata Agung, potensi bahan baku sektor kehutanan di Indonesia sangat besar. Total seluruh jenis kayu komersil yang bisa ditebang dari hutan alam mencapai 2,03 miliar meter kubik. Jika dipanen secara lestari, maka per tahunnya bisa menghasilkan 58,2 juta meter kubik pertahun. Belum lagi dari hutan tanaman, Agung memperkirakan potensi dari hutan alam antara 20 - 60 juta meter kubik per tahun.
Menurut Agung, jika Indonesia bisa menerapkan hal itu, maka proyeksi penerimaan negara di sektor kehutanan bisa mencapai US$ 17,7 miliar. Dari jumlah itu, US$ 9 miliar berasal dari sektor pulp and papers, dari kayu lapis mencapai US$ 2,8 miliar, kayu olahan US$2,8 miliar, dan mebel dan kerajinan kayu mencapai US$ 3,1 miliar.
MUTIA RESTY