TEMPO Interaktif, Malang — Sebanyak 200-an petani di Dusun Sumberwates, Desa Sumberbening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur, bersiaga menghadapi rencana penggusuran oleh tim Marinir dari Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Marinir TNI Angkatan Laut Purboyo.
Masridin, salah seorang warga, menginformasikan, pada Senin (19/7) sore, sekitar pukul 15.30 Wib, dua tentara —salah seorang dikenal sebagai Komandan Tomy— mendatangi beberapa rumah warga di RT 07 /RW 02. Kedua petugas itu memperingatkan warga untuk menghentikan pembangunan rumah, pembangunan fasilitas umum atau fasilitas sosial di area yang disengketakan itu. Petugas mengancam akan mendatangkan tank untuk menggusur mereka.
“Ancaman itu sudah sering didapat warga, tapi yang kemarin itu sepertinya benar-benar serius. Sekarang ini kami berkumpul di rumah Pak Miseri, tokoh masyarakat di sini buat jaga-jaga kalau nanti tanknya datang. Posisi kami di timurnya markas komando marinir,” kata Masridin kepada Tempo, Selasa (20/7).
Di desa itu sudah dibangun jalan desa, Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ulum, musala, dan tempat pemandian umum. Debit air di tempat pemandian ini sangat kecil sehingga warga sering kesulitan mendapatkan air bersih sehingga harus berpindah ke sumber air yang letaknya berjauhan dan susah dijangkau. “Pembangunan di sini dibiayai oleh warga sendiri, tak ada bantuan dari pemerintah,” kata Masridin.
Sebenarnya, kata Masridin, warga sudah beberapa kali meminta kepada Pemerintah Kabupaten Malang untuk disediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial di tanah sengketa itu. Warga menganggap permintaan mereka wajar dan adil karena mereka tak lagi mempersoalkan keberadaan Puslatpur itu.
Mayoritas warga tidak lagi meminta Puslatpur dibubarkan. Tapi mereka meminta marinir tidak mengusik kehidupan mereka. Warga ingin hidup tenang tanpa ancaman dan intimidasi.
Permintaan warga didukung oleh Wiwied T, Penanggung Jawab Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Kantor Perwakilan Malang. Mengenai sengketa kepemilikan lahan sebaiknya diselesaikan di pengadilan. Sebaliknya, TNI Angkatan Laut dan pemerintah diminta bersikap dan berlaku adil kepada warga dengan tetap melindungi hak asasi warga di lahan sengketa.
“Sebenarnya, sikap warga sudah lebih positif dan mereka masih menyediakan ruang dialog. Harusnya dialog itu yang dikedepankan. Jangan sedikit-sedikit main ancam yang hanya membuat masalah tak kunjung selesai dan kehidupan warga terganggu,” kata Wiwied kepada Tempo.
Walau masih bersengketa, warga tetap memiliki hak untuk hidup layak, hak mendapat pekerjaan, dan hak untuk mendapatkan tempat tinggal. Warga berada di lahan sengketa selama bertahun-tahun, menggarap lahan sebagai pekerjaan utama, dan telah berketurunan.
Menurutnya hak warga dijamin dalam Pasal 27 dan Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945. Jaminan serupa termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Tanah Purboyo dikuasai TNI Angkatan Laut selama 40 tahun lebih. Warga makin gencar menuntut tanah itu sejak sembilan tahun silam. Mereka mengklaim tanah itu warisan dari nenek moyang mereka yang kemudian dicaplok militer secara paksa dan warga tak mendapatkan ganti rugi.
Kasus tanah Purboyo merupakan satu dari tujuh kasus besar sengketa pertanahan di Kabupaten Malang yang belum tuntas ditangani pemerintah daerah setempat. Sengketa tanah ini melibatkan masyarakat, militer, dan pihak perkebunan.
Sengketa tanah Purboyo mencakup lahan seluas 47.592.220 meter persegi yang membentang di tujuh desa dalam Kecamatan Bantur (Sumberbening, Karangsari, Pringgodani, Srigonco, Jubel, Bantur, dan Bandungrejo); Desa Sumberperkul di Kecamatan Gedangan, serta tiga desa (Sumberkerto, Sempol, dan Pagak) di Kecamatan Pagak.
Berdasarkan catatan di Pemerintah Kabupaten Malang, TNI Angkatan Laut resmi menguasai tanah Purboyo sejak 1965. Awalnya Menteri Pertahanan/Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) mengajukan surat permohonan kepada Menteri Agraria agar pemerintah memberikan hak penguasaan atas empat tanah bekas perkebunan Belanda di selatan Kabupaten Malang itu kepada TNI Angkatan Laut.
Permohonan itu tertuang dalam dua surat bernomor VII/20/1/1 tanggal 11 Agustus 1964 dan surat nomor G.42/1/6 tanggal 14 April 1965.
Menteri Agraria mengabulkan permohonan sebagaimana tertuang dalam surat nomor SK/32/M/PENG/65 tanggal 16 Juli 1965 atau disingkat SK 32. Dalam SK ini disebutkan TNI Angkatan Laut harus memberikan ganti rugi pada warga. Kemudian Angkatan Laut melakukan sertifikasi atas tanah itu selama periode 1980-1984, tapi proses sertifikasi terhenti karena tanah terlanjur didiami warga.
Abdi Purmono