TEMPO Interaktif, Bengkulu - Sebanyak 18 warga dan dua eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) ditangkap dan diamankan di Markas Kepolisian Daerah Bengkulu menyusul aksi penolakan eksekusi lahan sengketa dengan PT Perkebunan Nasional (PTPN) VII.
Menurut salah seorang eksekutif Walhi yang ditangkap, Firmansyah, saat ditemui di Mapolda Bengkulu pagi ini (24/7), penangkapan ini di luar prosedur karena pada saat penangkapan warga tidak membuat rusuh dan aksi brutal yang dapat jadi alasan bagi pihak kepolisian untuk menangkap.
"Kita hanya tiduran dan duduk di jalan yang akan dilewati excavator yang akan melakukan eksekusi lahan, tiba-tiba aparat secara brutal menangkapi warga dan dimasukkan ke mobil," ceritanya kepada Tempo.
Firman mengalami lebam di mata kanan akibat pemukulan yang dilakukan aparat pada saat penangkapan. Menurutnya, sesuai kesepakatan bersama yang telah dibuat antara PTPN VII, warga, Kepolisian, DPRD Seluma dan aparat Pemerintah Kabupaten Seluma belum lama ini, PTPN setuju tidak akan melakukan eksekusi sebelum ada kepastian hukum terhadap status lahan tersebut.
"Kenyataannya sejak beberapa hari yang lalu alat berat berdatangan, belum lagi ratusan aparat yang didampingi 12 orang personel TNI turut mengamankan proses eksekusi," kata Firman yang saat ini diamankan di Mapolda bersama Kepala Depatemen Organisasi Rakyat Dwi Nanto.
Eksekusi tersebut terang saja mendapat respons dari ratusan warga yang memiliki lahan perkebunan plasma. Untuk menahan eksekusi warga memblokir jalan, sehingga terjadilah penangkapan tersebut.
Sementara itu Kapolres Seluma Ajun Komisaris Besar Yudi Wahyudiana mengatakan penangkapan terpaksa dilakukan karena warga telah menghalang-halangi pekerjaan PTPN VII yang bermaksud melakukan peremajaan terhadap lahan yang diklaim warga adalah milik mereka.
"Kita hanya tidak ingin terjadi bentrok dan perusakan di area PTPN VII yang merupakan aset daerah tersebut. Kita terpaksa mengamankan para pendemo," katanya.
Seperti diketahui kasus ini berawal dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII regional Sumbagsel yang berencana mengambil secara paksa lahan perkebunan milik warga di Desa Pering Baru, Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma, seluas 518 hektare pada 5 April yang lalu.
Terkait rencana tersebut warga dari tiga dusun, yaitu Tanjung Layang, Taba dan Padang Batu menyatakan siap mempertahankan tanah mereka hingga titik darah penghabisan.
Persoalan lahan tersebut telah terjadi puluhan tahun, sejak tahun 1985, di mana warga Desa Pering Baru dipaksa untuk menyerahkan lahan mereka seluas 1.000 hektare kepada PTPN VII untuk perkebunan sawit .
Pada saat itu sebagian warga setuju dengan janji tanah akan dikembalikan melalui sistem plasma. Sementara sebagian lagi yang tidak setuju mendapat ancaman dari personel kepolisian dan TNI. Malah ada yang dipenjara dengan tuduhan pelaku komunis.
Hingga saat ini sistem plasma tersebut tidak berjalan sesuai perjanjian karena PTPN minta warga memberikan uang Rp 8 Juta dan masyarakat petani tersebut tidak memiliki uang sebanyak tersebut.
Hak Guna Usaha (HGU) akan berakhir tidak lama lagi, PTPN berencana memperpanjang HGU kepada Pemerintah Kabupaten Seluma.
Tidak hanya itu, lahan seluas 518 hektare yang tersisa juga akan diambil oleh pihak PTPN. Alasannya, lahan tersebut merupakan lahan tidur dan masyarakat tidak memiliki Surat Kepemilikan Tanah atau SKT.
PHESI ESTER JULIKAWATI