TEMPO Interaktif, KUPANG - Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mempertanyakan data yang digunakan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat di Laut (PKDTML) untuk mengajukan klaim pencemaran di Laut Timor akibat meledaknya ladang minyak Montara 21 Agustus 2009 silam.
"Data yang diajukan ke Presiden sebesar Rp500 miliar untuk meminta ganti rugi ke PTTEP Australia sebagai pengelola Montara tidak kredibel," kata Ketua YPTB, Ferdi Tanoni kepada wartawan di Kupang, Senin (26/7).
YPTB merupakan satu-satunya lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang mempersoalkan kasus pencemaran minyak di Laut Timor, dan merupakan satu-satunya LSM di Indonesia yang mengajukan pengaduan kepada Australia lewat komisi penyelidik negara itu terkait dengan tragedi tumpahan minyak di Laut Timor.
Menteri Perhubungan, Fredi Numberi yang juga ketua Timnas penanggulangan keadadaan darurat di laut mengatakan, pemerintah Indonesia akan mengajukan klaim sebesar Rp500 miliar kepada PTTEP Australasia sebagai pengelola Montara.
Bukti tidak kredibelnya angka tuntutan ganti rugi itu, menurut dia, karena pada Februari 2010 lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan angka kerugian sebesar Rp591 miliar, namun pada April 2010 mereka keluarkan angka kerugian baru, hanya mencapai Rp247 miliar.
Padahal, lanjut dia, sejak meledaknya kilang minyak Montara, tidak ada upaya apapun dari pemerintah Indonesia dan Australia untuk mencegah penyebaran tumpahan minyak di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia atau melakukan penyelidikan menyeluruh tentang kerugian akibat pencemaran itu.
"Belum sekalipun Timnas melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan komprehensif, sehingga angka kerugian yang dikeluarkan sebesar Rp500 miliar, sebuah angka yang harus ditolak," katanya.
Dia menambahkan, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Komisi Penyelidik Australia, tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya kilang minyak Montara mencapai 90.000 km2.
Dari luas tumpahan itu, tambahnya, berdasarkan laporan ahli manajemen perikanan Australia, sekitar 75-80 persen berada di wilayah ZEE Indonesia. Karena itu, ia meminta agar pemerintah Indonesia tidak mereka-reka angka ganti rugi yang akan diklaim, tanpa bukti yang akurat.
"Butuh kajian secara ekonomis dan ekologis, sebelum mengajukan klaim akibat pencemaran Laut Timor," katanya.
YOHANES SEO