Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Chris Kanter menjelaskan, terdapat empat kategori produk ilegal. Keempat produk tersebut antara lain beredar tanpa izin, beredar dengan izin namun tidak memasang label Bahasa Indonesia, kedaluarsa, dan kedaluarsa namun dikemas ulang.
Namun, Chris mengaku tak memiliki data volume produk ilegal yang beredar di pasaran. Berdasarkan hasil sampling Tim Penanganan selama beberapa hari terakhir di empat kota yaitu Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar, ditemukan sekitar 30 jenis produk yang ditunjukkan Chris pada media.
"Yang beredar sebenarnya pasti banyak sekali, bisa ratusan, bisa ribuan," kata Chris di Jakarta, Kamis (29/7). Temuan produk ilegal umumnya berupa makanan ringan seperti biskuit, cokelat, permen, sari buah, susu, dan jamu.
Ketua Persatuan Perusahaan Kosmetik (Perkosmi) Putri K. Wardani menambahkan, banyak produk impor yang sudah mendapat izin namun tidak memasang label Bahasa Indonesia. Bahkan ada yang hanya menggunakan huruf kanji Jepang, Mandarin, atau Arab. "Bahasa Inggris saja masyarakat kita masih banyak yang belum mengerti, apalagi bahasa-bahasa itu," ujarnya.
Tim Penanganan mendesak pemerintah untuk setidaknya melakukan dua hal: mewajibkan pemasangan label Bahasa Indonesia dan melakukan operasi pasar secara reguler. Tim yang dibentuk tahun lalu ini mengapresiasi kebijakan Kementerian Perdagangan yang mempercepat pemberlakuan wajib label Bahasa Indonesia untuk produk nonpangan dari Desember menjadi September tahun ini.
"Sayangnya belum ada ketentuan serupa untuk produk pangan, padahal itu yang lebih berbahaya," ujar Chris. Pihaknya mendesak pemerintah, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk segera memberlakukan ketentuan tersebut. Namun hingga kini, Chris mengaku belum mengirimkan surat resmi pada BPOM.
Dia menambahkan, pemberlakuan wajib label Bahasa Indonesia juga dapat membantu masyarakat berperan serta menekan peredaran produk ilegal. "Kalau ada temuan produk tanpa label Bahasa Indonesia, itu sudah pasti ilegal dan bisa dilaporkan," tuturnya.
Yang menjadi akar masalah adalah proses memperoleh izin di BPOM yang lama, sehingga banyak pengusaha yang memilih jalan pintas. "Banyak pengusaha yang mengeluh," katanya. "Kalau memang prosesnya dua tahun, ya harus benar-benar dua tahun. Jangan ada yang dua tahun, tapi ada yang dua bulan."
Sayangnya, Chris enggan menjelaskan kerugian industri dalam negeri akibat maraknya produk ilegal ini. Ia mengatakan, "Ini lebih terkait perlindungan konsumen. Apalagi sekarang kan sudah mau bulan puasa, bagaimana kalau ada produk yang tidak halal?"
ADISTI DINI INDRESWARI