Ketua AJI, Nezar Patria menjelaskan, perayaan ulang tahun AJI merupakan momen yang mengingatkan sejarah tentang perjuangan komunitas pers atas rezim bredel yang dilakukan oleh Orde Baru.
"Kita mengingat kembali apa yang terjadi 16 tahun silam, saat sejumlah wartawan melawan pembredelan tiga media oleh kediktatoran Orde Baru. Para wartawan itu telah mengambil resiko tinggi, tiga diantaranya bahkan ditangkap, dipenjara, dan sisanya harus bekerja diam-diam bersama gerakan pendukung demokrasi. Pada tanggal 7 Agustus 1994, mereka meneken Deklarasi Sirnagalih, yang merupakan cikal bakal pendirian AJI," katanya.
Setelah rezim berganti, kata Nezar, keberadaan komunitas pers nyatanya masih saja berhadapan dengan sejumlah ancaman. "Pekan lalu, aksi teror dialami oleh seorang jurnalis di Papua. Teror itu datang dengan intens dalam bentuk pesan singkat dan kiriman surat yang berlumuran darah," katanya.
Aksi teror juga dialami seorang jurnalis di Aceh lantaran mengungkap praktek pembalakan liar. "Jurnalis tersebut diancam dengan senjata api oleh oknum militer. Dia dipaksa berdiri di lapangan, dan seputar kakinya dihujani peluru," katanya. "Yang paling tragis adalah temuan kasus pembunuhan wartawan di Bali lantaran menulis praktek korupsi seorang Bupati," imbuhnya.
Tidak hanya ancaman fisik. Menurut Nezar, ancaman terhadap kebebasan pers juga menyelinap dari balik produk hukum. "Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan contoh nyata ancaman praktek jurnalistik dan jeratan kebebasan berekspresi," katanya.
Komunitas media juga dihadapkan oleh tantangan dalam merespon realitas sosial yang terbentuk dalam media baru. Realitas tersebut terbentuk seiring perkembangan teknologi informasi melalui jaringan internet. "Perkembangan informasi mengubah pola hubungan dan cara kita menangani informasi," katanya.
Menurut nezar, komunitas pengguna internet dengan sendirinya mengubah pola hubungan antara khalayak dengan media. "Komunikasi berlangsung dua arah, para pembaca ikut memberikan komentar atas produk berita dan bahkan menciptakan berita itu sendiri," katanya.
Namun prilaku masyarakat atas produk berita tidak melulu ditentukan berdasarkan persentuhan dengan jejaring internet. Dalam orasi budayanya, Goenawan Mohammad menyitir hasil survei yang dibuat oleh Roy Morgan yang menyatakan bahwa 9 dari 10 rumah tangga di Indonesia memiliki pesawat televisi. "Saya tidak akan heran bila lebih dari 75 persen informasi yang diperoleh orang Indonesia datang dari stasiun televisi. Karena rata-rata setiap orang menonton 4,5 jam sehari," katanya.
Persoalan yang timbul bukanlah pada panjangnya waktu yang dibutuhkan setiap orang untuk menonton. Menurut Goenawan, hal yang paling mengkhawatirkan adalah hasrat pelaku industri media dalam melayani kepentingan bisnis. "Terutama ketika stasiun televisi dimiliki bukan saja oleh pemilik modal, tapi juga pemilik modal yang mempunyai agenda dan ambisi politik," ujarnya.
Kuasa atas ruang redaksi juga kerap bergeser ke ruang iklan atau ke pemasok acara seperti production house. Bahkan tidak jarang ditentukan oleh selera penonton yang membentuk selera pasar bagi berita dan hiburan. "Semua ini terjadi karena informasi telah menjadi komoditi. Ia menjadi kiblat. Para jurnalis membuat berita bukan karena mereka ingin tahu dan agar publik tahu, melainkan karena pasar menghendakinya," kata Goenawan.
Dalam kata sambutannya, Wakil Presiden RI, Boediono berpesan kepada komunitas pers untuk mengambil peran dalam proses demokratisasi. Menurut dia, label pers sebagai pilar keempat demokrasi bukanlah sebuah ilusi. Pers merupakan agen sosial yang mampu menjembatani komunikasi dan mempererat hubungan antara elit dan penguasa. "Manunggaling kawula Gusti," katanya.
Meski demikian, Boediono berpesan agar iklim kebebasan pers yang selama ini dijaga oleh pemerintahannya tidak disalahgunakan, melainkan dapat dimanfaatkan untuk perkembangan kualitas informasi. "Kontrollah kami dengan ketat. Tapi berikan kami ruang untuk bekerja dengan baik," katanya.
Puncak perayaan hari jadi AJI diakhir dengan penganugerahan musuh kebebasan pers, Udin Award dan Tasrif Award. Anugerah Udin award diberikan kepada wartawan Suara Pembaharuan, Budi Laksono, atas perjuangannya mendirikan serikat pekerja. Sedangkan Tasrif Award diterima oleh Onno W Purbo atas usahanya mengembangkan jaringan internet rakyat RTRW. Untuk musuh kebebasan pers, AJI menilai penghargaan ini layak dinobatkan kepada organisasi massa yang berwatak anarkis. "Dalam catatan AJI, ormas yang berkarakter preman melakukan kekerasan sebanyak 10 kali sepanjang tahun 2010," ujarnya.
RIKY FERDIANTO