Apalagi, kata dia, sejak 2006 tak ada lagi lembaga yang mengawasi Mahkamah. Pada saat itu, dalam sebuah putusan uji materi, Mahkamah membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim.
Meski tak diawasi lembaga negara lain, Mahfud justru merasa tenang dengan adanya pers. "Terus terang kami lebih ketat diawasi oleh pers dalam menentukan kebijakan dan sebagainya," kata Mahfud.
Selain itu, efektifitas pengawasan oleh pers justru lebih terasa karena hasilnya bisa langsung diketahui oleh masyarakat dalam lingkup yang luas. Hal ini berbeda jika pengawasan masih tetap dilakukan oleh Komisi Yudisial, yang hasilnya mungkin hanya disimpan oleh lembaga tersebut.
Bagaimanapun, menanggapi wacana pembentukan institusi pengawas Mahkamah, Mahfud mengatakan lembaganya bersikap netral. Mahkamah menyerahkan kebijakannya kepada parlemen dan pemerintah.
Ia berharap pemerintah dapat menemukan cara untuk bisa mengembalikan pengawasn itu. "Cari formula yang tidak sama dengan dulu," ujarnya. Menurut dia, pengawasan ini sebenarnya merupakan kebutuhan yang mendesak. Sebab Mahkamah sangat rentan terhadap 'pendekatan' dari pihak-pihak yang berperkara.
Ia berpendapat jarak Mahkamah dengan ide awal pembentukannya semakin lama akan semakin jauh. Sehingga tidak ada yang menjamin tidak adanya pelanggaran di Mahkamah masih tetap bisa dipertahankan seperti saat ini.
Hal ini diperkeruh dengan kondisi masyarakat daerah yang masih melakukan klaim memiliki hubungan dengan para hakim Mahkamah untuk melakukan penipuan. Berbekal foto bersama atau kartu nama salah seorang hakim, para oknum itu bisa mengaku mengenal hakim Mahkamah dan melakukan pemerasan.
"Orang di daerah bisa dikelabui seperti itu," ucapnya.
BUNGA MANGGIASIH