TEMPO Interaktif, Denpasar - Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia telah melakukan audit terhadap aset-aset Universitas Udayana (Unud). Hasilnya, BPK menemukan tujuh pengelolaan aset bermasalah karena tidak memenuhi prosedur.
“Kami menemukan ada pengelolaan aset yang tidak memenuhi prosedur administrasi,” kata Kepala Perwakilan BPK RI Denpasar I Gde Kastawa di Renon, Denpasar, Kamis (19/8). Pemeriksaan ini berawal dari kacaunya laporan keuangan Unud sehingga BPK berinisiatif melakukan pemeriksaan terhadap asset yang dianggap bermasalah.
Aset-aset itu antara lain tanah seluas 9.000 meter persegi di Jalan Raya Sesetan yang dijadikan pusat perbelanjaan dan tanah seluas 3.747 m2 di Desa Dauh Puri Kelod Kecamatan Denpasar Barat. Tanah itu terbengkalai setelah ada perjanjian kerja sama dengan International Trade Center.
Kemudian tanah seluas 944 m2 di Kelurahan Kuta dalam proses hukum, tanah seluas 2.000 m2 untuk pondok wisata bekerja sama dengan Yayasan in Radeef, tanah di Jalan Pulau Nias yang digunakan sebagai ruang LD-TEC, BIPA serta kantor yayasan dan pembangunan dan stasiun pengisian bahan bakar umum atas nama Rektor Unud yakni Prof Sukardika.
Presiden BEM Universitas Udayana Adji Prakoso menyatakan khawatir pengelolaan aset-aset yang bermasalah itu melanggar aturan hukum. “Saya mempertanyakan, apakah ada indikasi pelanggaran pidana atau tidak,” kata Adji. Menurut dia, kampus harus menjadi wilayah percontohan bebas tindak pidana korupsi.
Kastawa menyatakan, berdasarkan pemeriksaan BPK, ketujuh aset Unud itu hanya bermasalah pada pengelolaan administrasi yakni tidak ada izin dari Menteri Keuangan. “Dari pemeriksaan ke pengelola, rektorat mengira izin dari Menteri Keuangan tidak diperlukan untuk perjanjian ini,” kata Kastawa.
Terhadap indikasi pelanggaran pidana yang mengarah pada tindak pidana korupsi, BPK akan melakukan pemeriksaan lanjutan. “Namun sejauh ini, kami belum menemukan indikasi itu,” terang Kastawa.
Berdasarkan hasil itu, BPK merekomendasikan kepada Unud untuk mengajukan permohonan izn kepada Menteri Keuangan. “Kita juga merekomendasikan agar perjanjian kerja sama dengan pihak-pihak terkait ditinjau ulang,” Kastawa menjelaskan. Apalagi, saat ini nilai tanah di Jimbaran dan Kuta sudah melambung tinggi.
WAYAN AGUS PURNOMO