Meski jasa tukar uang dari uang lama menjadi uang baru tersebut ada salah satu pihak yang mendapatkan tambahan uang dan keuntungan, tapi hal tersebut sudah berdasarkan pada kesepakatan dan niatnya baik sehingga diperbolehkan.
"Selain itu, pihak yang mendapatkan jasa keuntungan sudah bekerja untuk mengantri maupun menjajakan uang barunya di pinggir jalan," kata Rofiq kepada Tempo, Kamis (19/8).
Pernyataan Rofiq ini menanggapi pendapat Ketua Majelis Ulama Indonesia wilayah Pati, Ahmad Mudjib Sholeh yang menyesalkan maraknya usaha jasa penukaran uang dengan mematok keuntungan tertentu. Ahmad Mudjib menyatakan jika tukar menukar uang maka bobotnya harus sama.
Jika praktik penukaran uang dengan mengambil keuntungan tertentu maka hukumnya haram. Penukaran uang diperkenankan apabila nilai dan bobotnya sama. "Kalau nilai uang penukar maupun yang ditukar nilai dan bobotnya tidak sama berarti riba," ujarnya. Namun, MUI Pati sendiri belum mengeluarkan pernyataan dan sikap resmi.
Rofiq mengaku setuju secara ideal jika menukar uang maka nilai dan bobotnya harus sama. Hal itu seperti dilakukan Bank Indonesia kepada orang yang ingin menukar. Tapi jika kemudian ada orang yang malas antri di Bank Indonesia dan lebih praktis dan lebih cepat menukar di jasa penukar maka itu tidak masalah.
Guru Besar Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang ini menganalogkan adanya jasa pengurusan atau memperpanjang surat tanda kendaraan motor (STNK).
Karena orang tidak mau antri dan ribet maka dia menggunakan jasa biro pelayanan pengurusan STNK meskipun dengan ada biaya tambahan. "Seperti itu tidak masalah," kata Rofiq. Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang hari raya lebaran tahun ini banyak jasa penukaran uang di pinggir-pinggir jalan.
Slamet, salah satu penyedia jasa penukaran uang baru di Jalan Pahlawan Semarang menyatakan hanya mengambil keuntungan 10 persen dari uang yang ditukarkan.
ROFIUDDIN