JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan persetujuannya jika koruptor tak lagi diberi pengurangan hukuman lewat remisi maupun grasi. Namun, untuk meloloskan kebijakan seperti itu, dibutuhkan perdebatan yang panjang.
"Kita setuju saja kalau (kebijakan) itu bagian dari politik hukum bangsa ini, enggak ada masalah," ujar Patrialis di Mahkamah Konstitusi kemarin. Namun, ia mengingatkan bahwa hukum internasional justru mengatur pemberian pengurangan hukuman bagi narapidana.
Dari konvensi hukum internasional yang dijadikan panutan negara, Patrialis melanjutkan, orang sakit harus diberi grasi. Jika ditahan terus dan tidak diampuni, hal itu dinilai melanggar hak asasi manusia. Jadi, untuk menghapus pemberian grasi dan remisi, kata dia, "Harus ada perdebatan yang panjang."
Pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-65, 17 Agustus lalu, pemerintah memberikan remisi kepada 4.700 narapidana. Dari jumlah itu, 330 di antaranya adalah narapidana kasus korupsi. Sebelas di antaranya bahkan langsung dibebaskan karena masa kurungan mereka telah masuk dua pertiganya setelah dikurangi remisi.
Mereka yang langsung bebas antara lain empat bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia, yaitu Aulia Pohan, Maman Sumantri, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Sementara itu, secara khusus, pemerintah memberikan grasi kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hassan Rais dengan alasan yang bersangkutan sakit parah.
Kebijakan pemerintah yang mengesankan adanya obral remisi bagi koruptor mengecewakan sejumlah pegiat antikorupsi, seperti Indonesia Corruption Watch, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Wacana agar remisi dan grasi tidak diberikan kepada koruptor pun muncul. Sedangkan KPK, menurut juru bicara lembaga ini, Johan Budi, tengah mengkaji usulan untuk menuntut koruptor dengan hukuman maksimal.
Anggota Komisi III (Hukum) Dewan Perwakilan Rakyat, Gayus Lumbuun, menilai hukuman bagi koruptor saat ini masih terhitung ringan. Karena itu, kasus korupsi di Indonesia terus berulang. Efek jera makin jauh lantaran remisi juga terkesan gampang diberikan kepada koruptor.
"Jika hukuman bagi koruptor diperberat, efeknya pun akan berbeda," kata Gayus. Misalnya seorang koruptor dihukum 10 tahun, maka, sesuai dengan ketentuan, dia baru bisa mendapat remisi setelah menjalani sepertiga masa hukumannya, yakni tiga tahun penjara. "Kejahatan yang dihukum ringan punya kecenderungan jadi berulang-ulang," kata politikus PDI Perjuangan ini.
Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai gampangnya pemberian remisi bagi koruptor seperti mementahkan pergerakan penegakan hukum. Selain itu, tak memberikan pendidikan yang positif kepada masyarakat soal pemberantasan korupsi. "Apa sih sebenarnya keinginan pemerintah?" kata Eva di gedung DPR kemarin, "Pemerintah benar-benar ingin memerangi korupsi atau hanya sekadar lips service?"
Sebaliknya, Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah menyatakan langkah pemerintah sudah sesuai dengan aturan soal remisi. "Remisi itu untuk semua narapidana tanpa membedakan kasusnya. Koruptor juga berhak," ujarnya.
l BUNGA MANGGIASIH | SANDY INDRA | MUTIA RESTY | ANTON SEPTIAN | DWI WIYANA