"Hitungan 0,22 persen kami dapat sebelum terima Surat Keputusan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral," ujar Subagio Dwijosumono selaku Deputi Bidang Statistik Produksi sekaligus Plh Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, di Kantor BPS hari ini (1/9).
Menurut dia, ada dua hal yang menyebabkan melesetnya prediksi. Pertama, pada awal Agustus BPS mencoba mensimulasikan inflasi TDL dengan bahan yang didapatkan dari koran. Data ini memiliki keterbatasan sehingga menyebabkan input simulasi tak terlalu akurat.
Kedua, simulasi yang dilakukan BPS tidak memperhitungkan beragamnya kelas konsumsi listrik masyarakat. Akibatnya, BPS tak bisa memperoleh gambaran akurat mengenai sebaran pengguna listrik. "Perhitungan awal tidak dilakukan secara tertimbang sehingga hasilnya berbeda dari prediksi," katanya.
BPS baru memperoleh data dari Kementerian ESDM pada pertengahan Agustus. Setelah memperoleh data tersebut, BPS memperoleh prediksi inflasi yang kurang-lebih sama dengan nilai riilnya.
Beragamnya kelas konsumsi listrik masyarakat ini juga menjelaskan mengapa harga inflasi listrik bervariasi di berbagai daerah. Menurut dia, tingkat konsumsi listrik pasca kenaikan TDL juga dipengaruhi oleh kelas konsumsi ini. "Kenaikan TDL terrendah di Pematang Siantar sebesar 1,59 persen dan tertinggi di Palu sebesar 33,63 persen."
Adapun kenaikan TDL untuk wilayah DKI Jakarta sebesar 25,73 dan kota Bandung naik 13,59 persen.
ANTON WILLIAM