TEMPO Interaktif, Kudus - Pembalakan liar masih terus terjadi di kawasan hutan di pegunungan Muria Kudus.
“Tingkat kegundulannya sudah mencapai sekitar 85 persen,” kata Shokib, Ketua Paguyuban Masyarakat Peduli Hutan Kabupaten Kudus, Ahad (19/9). “Pemerintah harus segera bertindak mengatasi.”
Pencurian hutan dilakukan masyarakat dari berbagai daerah di kawasan hutan milik Perhutani. Mereka, kata Shokib, berasal dari Jepara, Pati, dan Kudus. “Kami survei langsung ke lapangan, kerusakannya sudah mencapai 85 persen,” jelas Shokib.
Akibat gundulnya hutan di kawasan Muria itu, warga yang tinggal di lereng Gunung Muria khawatir. “Kami khawatir terjadi kelongsoran,” ucap Suyuti, warga Desa Menawan, Kecamatan Dawe Kudus.
Pemerhati lingkungan dari Universitas Muria Kudus, Hendy Hendro, menyatakan sekitar 40 persen lahan di kawasan Muria tingkat kemiringannya lebih dari 40 derajat. ”Tanah miring itu sekitar 114,3 hektare tanpa vegetasi,” ujar Hendy Hendro, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus.
Data itu, kata Hendy, diambil dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jratun Seluna. Lahan rawan longsor itu, karena tidak tertutup vegetasi alias gundul. Akibatnya, begitu Kudus diguyur hujan, sangat berpotensi air langsung meluncur ke bawah dan rawan longsor. Karena itu, dibutuhkan pembenahan secara komprehensif
Hingga kini, kawasan yang paling rawan longsor ada di dua kecamatan, yakni Gebog dan Dawe. Kedua wilayah itu terletak di lereng Gunung Muria. Di dua wilayah itu, sering terjadinya ratusan titik tanah merekah di lingkungannya. Kekhawatiran itu sangat beralasan, sebab daerah itu sering turun hujan.
Terutama warga Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, dan warga Desa Colo serta Japan, Kecamatan Dawe "Setidaknya ada 500 rumah terancam longsor karena terletak di lereng perbukitan," ujar Ali Rifa'I, Kepala Kantor Kesbanglinmas Kabupaten Kudus.
Pada musim penghujan tahun lalu, daerah itu mengalami kelongsoran yang cukup serius dengan membawa korban tiga orang tewas. Sebagian warganya juga harus diungsikan, karena 30 rumah roboh dan 28 rumah lainnya rusak. Menurut Mugiyanto, Perangkat Desa Rahtawu, di tempat pemukiman warga itu terdapat ratusan titik retakan. “Jika turun hujan berpotensi bencana tanah longsor.” tegas Mugiyanto.
Curah hujan di Gunung Muria yang memiliki ketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan laut itu, mencapai 3.500-4.000 mm/tahun. Sebagian besar gunung itu tidak lagi berhutan. Kondisi tanahnya, termasuk tanah liat, sehingga air yang turun tidak mudah diserapnya. Geografinya bertebing curam. Sedangkan penduduk yang sebagian besar petani ini, lebih memilih menanam padi gogo, ketela dan jagung.
"Di sini ada 600 KK (1.500 jiwa ) yang tinggal di daerah tawan longsor," ujar Kepala Desa Rahtawu Sugiyono. Jumlah penduduk Rahtawu sendiri 1.420 KK ( 4.730 jiwa ), tinggal di 4 dukuh, yakni Krajan, Wetan Kali, Sumliro, Gingsir dan Tumpuk.
BANDELAN AMARUDIN