Ma'ruf Amin mengatakan, informasi yang diterima soal Ahmadiyah, baru sebatas pemberitaan di berbagai media masa. Pemberitaan itu, lanjutnya, tidak bisa menjadi ukuran terjadi tidaknya pelanggaran dan ketidakpatuhan jemaah Ahmadiyah pada pelaksanaan Surat Keputusan Bersama Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan.
Ma’ruf mengatakan rekomendasi itu disusun sebagai bagian dari evaluasi terjadinya konflik yang masih terjadi berkaitan dengan penolakan terhadap jemaah Ahmadiyah. Rekomendasi itu masih menunggu pengumpulan bahan dari laporan kepala daerah, Majelis Ulama Indonesia, serta masyarakat. “Gak lama lah (selesainya), kalau kita sudah baca, kita paham (persoalannya) akan kita keluarkan rekomendasi itu,” katanya.
Baca Juga:
Evaluasi yang akan dilakuakan berkisar soal kepatuhan terhadap isi Surat Keputusan Bersama yang menghentikan kegiatan jemaah Ahmadiyah. Evaluasi itu juga akan mengkaji usulan antara membubarkannya atau menjadikannya sebagai kelompok non-muslim. “Itu akan kita lihat nanti, kita kaji,” kata Ma’ruf.
Dalam pertemuan di Gedung Sate sebagai bagian dari kunjungan kerjanya ke Jawa Barat, Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat KH Hafidz Utsman menyampaikan usul agar pemerintah mengambil sikap soal Ahmadiyah. Salah satu yang direkomendasikannya adalah tidak memasukkan Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam. “Seperti di daerah asalnya, Ahmadiyah ya Ahmadiyah, Islam ya Islam,” katanya.
Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Sutarman mengatakan, konflik yang terjadi berkaitan dengan Ahmadiyah, seperti konflik yang berakaitan dengan isu agama lainnya, disebabkan ketidaktegasan aturan yang ada. Soal Ahmadiyah dicontohkannya, pemerintah lewat Surat Keputusan Bersama tidak tegas melarang, sementara MUI menuding aliran itu sesat.
Ketidak tegasan ini membuat polisi sulit mengambil sikap jika terjadi bentrokan. Dia meminta, perlu ada ketegasan dari pemerintah soal ini. ”Kita perlu sinkronkan aturan negara dengan yang diihat kelompok-kelompok itu,” kata Sutarman.
Menurutnya, di luar kasus itu, banyak konflik berkaitan dengan agama terjadi karena ketidakpatuhan terhadap aturan yang sudah ada. Dia mengkritik, pemerintah kerap berangapan jika aturan sudah tertuang dalam lembaran negara, masyarakat dianggap sudah tahu.
Dalam pertemuan itu, Ma’ruf mengatakan, Jawa Barat sebagai daerah yang paling menonjol dibandingkan daerah lain soal konflik yang berkaitan dengan hubungan antar agama. Dia mengutip catatan jumlah konflik yang mencuat per tahun 2008, dari 28 kasus yang terjadi saat itu, 7 di antaranya terjadi di Jawa Barat. ”Umumnya karena tempat ibadah,” katanya.
Menurut Ma’ruf, mayoritas kasus yang terjadi dipicu oleh tidak dipatuhinya aturan main yang ada berkaitan dengan hubungan antar umat beragama. ”Peraturan yang tidak dipatuhi, sehingga terjadi konflik,” katanya. Kasus jemaah HKBP di Kota Bekasi salah satu contohnya.
Dia berharap, untuk meredam konflik semacam itu, pemerintah perlu mensosialisasikan lagi aturan main yang ada. Setiap kelompok agama dimintanya menjaga cara-cara penyebaran agamanya.
Dalam dialog itu, semua perwakilan agama yang ada menyampaikan persoalan yang dihadapinya. Mulai dari keberadaan aliran salah satu agama yang dianggap sesat, sulitnya mendirikan rumah ibadah, hingga soal pendidikan.
Nyoman Kondra, perwakilan Parisadha Jawa Barat misalnya mengeluhkan soal penolakan sekolah untuk mempekerjakan guru agama Hindu di salah satu SMP di Kota Bandung. ”Ada guru yang sudah memegang SK dan dirujuk untuk mengajar di satu sekolah tertentu, oleh sekolah itu ditolak,” katanya.
Ketua Pengurus Agama Konghucu Jawa Barat Sukoco Bambang mengeluhkan sulitnya mencantumkan agamanya dalam kartu identitas penduduk. ”Masih banyak umat kita yang harus pesan kavling ke tempat lain, paling banyak pesan kavling agama Kristen, kedua ada yang meminjam kavling agama Budha, ada juga, walaupun kecil pinjam kavlingnya Pak Hafidz (Ketua MUI Jawa Barat),” katanya.
AHMAD FIKRI