Tepat jam 20.00 WIB, Selasa malam (28/9), secara bergantian mereka mulai menembangkan bait-bait yang dibaca dari Lontar Yusuf, sebuah kitab bertuliskan huruf arab dengan bahasa Jawa kuno. Dengan cengkok khas Using, Banyuwangi, seluruh isi kitab rampung dilantunkan hingga menjelang fajar.
Para lelaki itu sedang melakukan Mocoan Lontar Yusuf, ritual yang menjadi tradisi turun temurun di Desa Kemiren. Dan, inilah untuk pertama kalinya Mocoan Lontar mempertemukan dua generasi: tua dan muda.
Keterlibatan generasi muda dalam tradisi Mocoan Lontar tersebut merupakan hasil kaderisasi yang dilakukan Kelompok Mocoan Lontar Kemiren sejak Februari 2010 lalu.
Selama ini, tradisi yang berusia ratusan tahun itu nyaris tanpa regenerasi. Hanya lelaki usia di atas 50 tahun yang mampu membaca Lontar Yusuf, yang berisi kisah Nabi Yusuf.
Adi Purwadi, 50 tahun, Ketua Kelompok Mocoan Lontar yang menjadi tuan rumah malam itu menuturkan, upaya kaderisasi dilakukan karena sebagai generasi tua dia merasa resah tradisi itu tidak terwarsikan kepada generasi muda.
Adi Purwadi mulai mencari pemuda yang berminat meneruskan tradisi tersebut. Tidak mudah bagi lelaki yang juga dikenal sebagai tokoh kominitas Using itu mewujudkan keinginannya.
Pada awalnya hanya seorang pemuda yang bersedia. Melewati waktu yang cukup lama, sang pemuda itu pun sanggup melafalkan bait demi bait dalam kibat lontar.
Pencarian terus dilakukan, termasuk dengan cara getok-tular dari mulut ke mulut. Dan ternyata membuahkan hasil.
Sebanyak 16 pemuda berusia sekitar 20-30 tahun berhasil dikumpulkan. Dalam delapan kali pertemuan untuk mempelajari cara membaca isi lontar serta tekhnik melantunkannya, para pemuda itu sudah mampu melakukannya.
Kemahiran para pemuda tersebut, terlihat pada acara di rumah Adi Purwadi –yang hari itu melaksanakan hajatan sunatan. "Kebanyakan mereka adalah anak dari pembaca lontar sebelumnya," tutur Purwadi kepada TEMPO.
Dinamakan Lontar Yusuf karena sebelum ada kertas, kisah Nabi Yusuf itu ditulis di daun lontar. Tidak ada yang tahu sejak kapan tradisi ini mulai dilakukan masyarakat Kemiren. Diperkirakan, kesenian ini muncul saat agama Islam masuk ke Banyuwangi sekitar abad ke-XVIII.
Lontar Yusuf tersusun atas empat bagian (pupuh), yang masing-masing bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf, yakni soal asmara (kasmaran), doa-doa (durma), alam dan kehidupan Yusuf (terutama saat dinobatkan menjadi raja), dan saat Yusuf berada dalam penjara (sinom).
Menurut Purwadi, tradisi ini dilestarikan sebagai sarana berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Masyarakat berharap kisah-kisah dalam lontar terjadi dalam kehidupan nyata mereka. Dalam hajatan perkawinan, misalnya, pasangan pengantin berharap bisa rukun dan bahagia hingga akhir hayat sebagaimana keluarga Nabi Yusuf.
Bila seorang anak lahir, wajah dan tabiatnya diharapkan seperti Nabi Yusuf. Orang tua yang mengkhitankan anaknya berharap si anak tidak merasakan sakit sebagaimana para istri raja tidak menyadari jari-jari mereka teriris pisau lantaran terpana saat menatap Nabi Yusuf yang rupawan.
Nampi, 60 tahun, salah seorang warga Desa Kemiren mengisahkan, Mocoan Lontar sejak dahulu sering ditanggap ketika seorang pengantin perempuan melaksanakan ritual meratakan gigi (sisir). Tujuannya, supaya si pengantin tidak merasakan ngilu. "Mocoan Lontar jadi penghibur bagi si pegantin," ujarnya. IKA NINGTYAS.