Pemugaran terhadap bangunan yang telah berdiri sejak tahun 1748 itu disebutkan Arthur memang dilakukan oleh Komunitas Tugu. "Kami melihat ada bangunan bersejarah yang perlu dilestarikan di Tugu jadi kami mengajukan pemugaran ke Pemerintah sejak puluhan tahun lalu," ujarnya.
Pemkot Jakarta Utara batal melakukan pemugaran terhadap bangunan cagar budaya ini karena tidak mendapat izin dari Sinode selaku pengelola gereja. Sinode baru akan membahas pemugaran ini bulan depan, padahal anggaran sebesar Rp 3,4 milyar dari Pemkot sudah harus masuk laporan pertanggungjawaban di bulan Desember.
Menurut Arthur, Gereja Tugu merupakan gereja yang berdiri sendiri, bukan dikelola pihak manapun atau self-handled care. "Awal berdirinya gereja ini bukan milik Belanda," katanya.
Arthur menceritakan pada tahun 1675, pendeta asal Belanda, Melchior Leydecker, datang ke daerah yang kini dikenal dengan nama Tugu untuk mencari budak serdadu Portugis yang melarikan diri karena menolak berganti nama ke Belanda dan masuk Protestan.
Melchior membangun gereja berbahan kayu di tempat ia melayani sekitar 150 umat dari kaum Mardijkers, sebutan budak serdadu Portugis tersebut. Karena jumlah jemaat berkembang, pada tahun 1738, dibangun gereja yang baru di tempat yang lama. "Kali ini bangunan semi-permanen, separuh kayu, separuh batu," ujar Arthur.
Namun bangunan ini dibakar massa etnis Tionghoa pada tahun 1740 menyusul pemancungan 20 ribuan warga etnis Tionghoa oleh Gubernur Adrian Faulkner. "Mereka mengira warga Tugu dari Belanda," kata Arthur.
Gereja kembali dibangun pada tahun 1744 oleh seorang tuan tanah dari Cilincing, Justinus Venj, untuk warga Tugu. Bangunan gereja yang permanen selesai didirikan pada tahun 1747 dan sudah mulai dipakai beribadah. Namun gereja ini baru ditasblihkan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh seorang pendeta keturunan Jerman-Portugis, Johan Mauritz Mohr.
Pada tanggal 20 Januari 1840, Keputusan Gereja di Batavia menyatakan warga Tugu sebagai Inheemse Christenen atau Kristen Bumiputra. "Artinya kami resmi jadi orang asli indonesia dan bukan orang Belanda," kata Arthur. Menurut Arthur, keputusan ini juga berarti Gereja Tugu bukan menjadi milik Belanda.
Arthur mengatakan, aset gereja kini dikuasai GPIB. "Pada tahun 1948, Peraturan Pemerintah mengharuskan gereja berbadan hukum," ujarnya. Semestinya, disebutkan Arthur, GPIB hanya menguasai tata ibadah dan bukan aset gereja. "Belakangan, aset malah dimiliki GPIB walaupun tidak bisa menunjukkan surat kepemilikan," katanya.
PUTI NOVIYANDA