Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah meminta agar Menteri Perindustrian memimpin tim perunding terkait status kontrak Inalum. Tapi, menurut Hidayat, sampai saat ini siapa yang akan menjadi nakhoda tim perunding belum diputuskan secara resmi.
Bahkan, pada Selasa lalu, Hidayat mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo menjadi ketua tim negosiasi, selain dirinya. Usulan ini bukan berarti Hidayat berniat mundur sebagai ketua tim.
Namun kedua calon yang diusulkan tersebut juga dianggap mampu memimpin jalannya perundingan. Apalagi ketua tim perunding hingga kini belum diputuskan melalui keputusan presiden, sehingga masih terbuka kemungkinan pemerintah menunjuk ketua tim yang lain.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan belum ada negosiasi dalam pertemuan Indonesia-Jepang terkait Inalum. “Tanggal 5 November itu belum mulai negosiasi,” katanya. Menurut Hatta, yang akan dilakukan Menteri Perindustrian baru pada tahap membicarakan time table atau jadwal perundingan.
Hidayat menambahkan, rencana pertemuan hari ini sedianya membahas persiapan perundingan. Perundingan baru dilakukan setelah muncul audit final Inalum oleh Ernst & Young. Kendati pertemuan batal, namun delegasi Jepang tetap datang. “Kita terlambat memberitahu penundaan,” ujarnya.
Dalam perundingan nanti, menurut Hidayat, Indonesia harus memenangkan kepemilikan di Inalum. Tapi setelah itu Indonesia tetap bisa menjalin hubungan yang baik dengan Jepang. "Kita harus menang demi kepentingan bangsa dan industri Indonesia tanpa harus gembar-gembor," ujarnya.
Setelah perundingan tuntas baru pemerintah bisa membicarakan pembagian saham. "Apakah akan dipegang PT Antam atau Otorita Asahan atau ditenderkan lagi. Itu persoalan internal. Sekarang kita fokus untuk memenangkan perundingan dengan baik dan elegan," tutur Hidayat.
Inalum berdiri pada Januari 1976 berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan 12 perusahaan swasta Jepang. Sebanyak 41 persen saham Inalum dimiliki Indonesia, yang diwakili oleh PT Otorita Asahan. Sisanya 59 persen milik Jepang melalui Nippon Asahan Alumunium Co. Ltd.
Proyek raksasan di Porsea, Asahan, Suamtera Utara itu menelan Investasi sekitar 400 miliar yen atau Rp 50 triliun dengan modal pinjaman Jepang. Kontrak Inalum berakhir pada 2013. Sesuai ketentuan dalam perjanjian, tiga tahun sebelum masa kontrak berakhir, semua utang pemerintah Indonesia kepada Jepang harus lunas.
Saat ini, kata Hatta, terdapat dua proposal tentang pengelolaan Inalum. Pertama, pemerintah mengajukan 100 persen pengelolaan oleh Indonesia. Kedua, Jepang ingin meminta perpanjangan proyek. Namun, menurut Hatta, pemerintah tak bisa begitu saja memenuhi permintaan Jepang.
IQBAL MUHATROM | EKA UTAMI APRILIA | KARTIKA CANDRA